Rabu, 10 Juli 2013

makalah psi


MAKALAH PSI- PENDEKATAN STUDI ISLAM

I.                   PENDAHULUAN
Sejalan dengan pembidangan ilmu dalam studi islam, pendekatan studi islam pun mengalami perkembangan, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada bab ini dijelaskan sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam studi islam. Diantara lain yaitu pendekatan : Teologis, Yuridis, Psikologis, Historis, Antropologis, Sosiologis, Filosofis, Fenomenologis.[1]

II.                RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimana Pendekatan Teologis dalam Studi Islam ?
b.      Bagaimana Pendekatan Yuridis dalam Studi Islam
c.       Bagaimana Pendekatan Historis dalam Studi Islam ?
d.      Bagaimana Pendekatan Psikologis dalam Studi Islam?
e.       Bagaimana Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam ?
f.       Bagaimana Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam ?
g.      Bagaimana Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam ?
h.      Bagaimana Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam ?
III.             PEMBAHASAN

A.    Pendekatan Teologis
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan . sedangkan pendekatan teologis adalah suatu pendekatan yang normatif dan subjective terhadap agama. Pada umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh penganut agama dalam usahanya menyelidiki agama lain. Secara harfiah, pendekatan teologis normatif dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upayamemahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dubandungkan dengan yang lainnya.
Menurut The Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat terdapat 1.200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri masal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam pun secara tradisional dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan teologi Maturidiyah. Sebelumnya terdapat pula teologi bernama Khawarij dan Murji’ah.  
Di masa sekarang ini, perbadaan dalam bentuk formal teologis yang terjadi di antara berbagai madzhab dan aliran teologis keagamaan. Namun, pluralitas dalam perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka pada sikap saling bermusuhan dan saling menonjolkan segi-segi perbedaan masing-masing secara arogan, tapi sebaiknya dicari titik persamaanya untuk menuju subtansi dan misi agama yang paling suci. Salah satunya adalah dengan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan, saling menolong, saling mewujudkan kedamaian, dan seterusnya. Jika misi tersebut dapat dirasakan, fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat dirasakan. [2]

B.     PENDEKATAN YURIDIS
Ada beberapa teori yang dapat digunakan dengan kajian pendekatan yuridis dan sosiologi hukum. Misalnya: secara empirik-induktif, teori pengakuan (anerkennungs theorie) menyatakan, bahwa hukum mempunyai kekuatan berlaku jika diterima dan diakui oleh masyarakat. Secara normatif-deduktif, teori kekuatan (machts theorie) menyatakan, bahwa hukum mempunyai kekuatan berlaku jika dipaksakan oleh penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
Kaitannya dengan usaha menafsirkan perundang-undangan ada beberapa teori dan sekaligus pendekatan (approach) yang dapat digunakan, yakni:
1.         The literal approach (teori harfiah/literal)
Maksud teori ini adalah menafsirkan teks perundang-undangan dengan mengandalkan teks secara harfiah (bahasa).
2.         The golden rule (teori emas)
Teori yang sebenarnya pengembangan atau perbaikan teori literal ini bermakna, dengan teori ini penafsiran pengambilan makna biasa dan berpegang teguh pada makna itu, kecuali kalau makna tersebut tidak sesuai dengan maksud badan perundang-undangan yang sedang dibahas.
3.         The mischief rule (kaedah menghilangkan kemudratan)
Teori ini berasumsi, kadang-kadang dalam satu kasus tertentu dalam undang-undang tidak begitu saja bisa dipakai dan dipahami dengan baik. Sebagai jalan keluarnya, seorang penafsir atau hakim bisa melakukan dengan cara menjauhi kemungkinan munculnya kemudaratan. 
4.         The purposive approach (teori tujuan)
Teori ini/ mencakup teori harfiah/literal (the literal approach), teori keemasan (the golden rule) dan teori kemudratan (the mischief rule), yaitu menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan mereka yang membuat undang-undang.
Lebih lanjut dapat dicatat, untuk menganalisis hukum sebagai satu system, ada tiga aspek yang dapat dikaji, yakni materi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure)  dan budaya hukum (legal culture).
Dengan demikian, objek kajian materi hukum (legal substance) adalah materi atau isi dari hukum/undang-undang. Fokus kajian struktur hukum (legal structure) adalah lembaga dan penegak hukum; hakim, jaksam pengacara, proses dan struktur. Sementara fokus kajian budaya hukum (legal culture) adalah masyarakat yang menjadi subjek yang diatur oleh hukum, menyangkut ide, gagasan, nilai-nilai, norma, kebiasaan, dan semacamnya.
Sementara peran hukum secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni hukum sebagai alat pengatur atau pengontrol (law as a toot of social control) dan hukum sebagai alat rekayasa/perubahan sosial (law as a tool of social engineering), bahkan ahli sociological jurisprudence, Roscoe Pund sangat yakin bahwa hukum dapat menjadi alat untuk mengubah masyarakat kearah keadaan yang lebih baik.[3]

C.    Pendekatan Histori
Dengan menggunakan pendekatan sejarah ada minimal dua teori yang bisa digunakan yaitu:
1.         Idealist approach
2.         Reductionalist approach
Maksud idealist approach adalah seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan mempercayai secara penuh fakta yang ada tanpa keraguan. Sedangkan reductionalist approach adalah seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan penuh keraguan. Seperti dijelaskan sebelumnya ada 3 teori lain yang penting dipahami dengan pendekatan sejarah, yakni diakronik, sinkronik, dan sistem nilai.
Maksud diakronik adalah penelusuran sejarah dan perkembangan suatu fenomena yang sedang diteliti. Misalnya, kalau sedang meneliti “konsep riba menurut Muhammad ‘Abduh”, diakroninya adalah harus lebih dahulu membahas kajian-kajian orang sebelumnya yang pernah membahas tentang riba.
Adapun sinkronik adalah kontekstualisasi atau sosiologis kehidupan yang mengitari fenomena yang sedang diteliti. Kembali pada contoh konsep riba Muhammad ‘Abduh, maka sosial kehidupan Muhammad ‘Abduh dan sosial kehidupan tokoh-tokoh yang pernah membahas fenomena yang sama juga harus dibahas.
Sedang sistem nilai adalah sistem nilai atau budaya sang tokoh dan budaya dimana dia hidup. Maka penelitian dengan teori diakroni, sinkronik, dan system budaya adalah penelitian yang menelusuri latar belakang dan perkembangan fenomena yang diteliti lengkap dengan sejarah sosio-historis dan nilai budaya yang mengitarinya. Maka menjadi wajar kalau alat analisis ini lebih dikenal sebagai alat analisis sejarah dan atau sosial (sosiologi).[4]

D.    Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui. Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya, harus pula diteliti dan inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.
Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis memang berkembang dan dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek ilmu ini adalah manusia, gejala-gejala empiris dari keagamaanya. Karena ilmu ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama, metodenya pun tidak berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahyukan Tuhan atau tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah yang tidak empiris lainnya. Oleh karena itu pendekatan psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya suatu agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu yang akan datang.
Selain itu, sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah empirical science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati dengan pola indera manusia pada umumnya, atau dapat dialami oleh semua orang biasa, sedangkan Dzat Tuhan,wahyu,setan,dan fakta gaib lainnya tidak dapat diamati dengan pola indera orang umum dan tidak semua orang mampu mengalaminya. (Aziz Ahyadi,1981:9;Zakiah daradjat,1979:17-19).
Sumber-sumber ilmiah untuk mengumpulkan data ilmiah melalui pendekatan psikologi ini dapat diambil dari:
1.         Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup
2.         Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri
3.         Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama (Zakiah Daradjad,1979:20)[5]
E.     PENDEKATAN ANTROPOLOGIS 
Dalam melukiskan garis pemisah yang jelas antara antropologi dan sosiologi karena kedua macam ilmu ini terbagi bukan karena metode yang dipakai oleh para sarjana, melainkan metode yang dipakai oleh tradisi. Bagaimanapun, antropologi telah memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan-kebudayaan primitif yang tidak bisa baca-tulis tanpa teknik.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah- masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitannya hal ini, menurut Dawam Rahadjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung. Bahkan bersifat partisipatif. Dari sini, timbul kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif . penelitian antrpologis yang induktif yaitu turun langsung kelapangan atau dengan upaya membebaskan diri dari kungkugan teori-teori fornal yang pada dasarnya sangat abstrak .
Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan miskin pada umumnya lebih tertarik pada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat messianic, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Adapun golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan ini menguntungkan pihaknya. Karl Mar (1818-1883) sebagai contoh: melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut teori pertentagan kelas.
Melalui pendekatan antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembagan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hal ini, jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, kita mengubah pandangan keagamaannya.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis, kita dapat melihat agama adalah hubungannya dengan mekanisasi pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan. Seperti kasus di indonesia, karya Clifford Geertz, The Religion Of Java dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini. Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di jawa: santri, priyayi,dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di jawa timur   ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuan sosial yang lain, konstruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berpikir ulang untuk mengecek ulang keabsahannya.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis, kita dapat melihat hubungan antara agama dan negara (state dan religion). Topik ini selalu menarik dapat di lihat dari fenomena negara agama seperti : Vatikan dalam bandingannya dengan negara-negara sekuler dikelilingnya di Eropa Barat. Kenyataannya dinegara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut suklarisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak dapat di tawar . Belum lagi, meneliti dan membandingkan kerajaan Saudi Arabia dan Negara Republik Iran yang berdasarkan islam. Orang akan bertanya apa sebenarnya yang menyebabkan kedua sistem pemerintahan tersebut sangat BERBEDA, yaitu kerajaan dan republik, tetapi sama-sama menyatakan islam sebagai asa tunggalnya. Belum lagi, jika dibandingkan dengan negara kesatuan republik indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama islam, tetapi menjadikan pancasila serbagai asas tunggal.
Melalui pendekatan antropologis, dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Signum Frued (1856-1939) pernah mengaitkan agama dengan oedipus kompleks, yakni pengalaman seorang anak yang tidak berdaya di hadapan kekuatan dan kepada bapaknya. Agama dinilainya sebagai neorosis. Dalam psikonalisisnya, dia megungkapkan hubungan antara ide, ego, dan superego. Meskipun penelitian Frued berakhir dengan kurang simpati terhadap realita keberagaman manusia, temuannya ini cukup memberi peringatan terhadap beberapa kasus keberagaman tertentu yang lebih terkait dengan patologi sosial maupun kejiwaannya.
Melalui pendekatan antropologis, sebagaimana dijelaskan di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula, agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan, sebab banyak hal yang dibicarakan agama hanya dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam Al-Qur’an yang digunakan  sebagai sumber agama ajaran islam misalnya, kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung arafah, kisah Ashabul Khafi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Di mana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan di mana kira- kira gua itu dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan seperti itu, ataukah hal demikian merupakan kisah fiktif ? Tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan ahli geografis dan arkologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologis sangat diutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya. [6]
F.     PENDEKATAN SOSIOLOGI
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dengan masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh, dan cara hidup bersama dalam tiap persekutuan hidup manusia. Menurut Soejono Soekantomengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.
 Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.  Dan juga mempelajari kehidupan masyarakat dan menyelidiki ikatan- ikatan antara manusia  yang saling berkaitan  serta keyakinan-keyakinan yang mendasar terjadinya proses tersebut. [7]
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami pendekatan. Hal ini dapat dimengerti karena banyak kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam ajaran islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus di bantu Nabi Harun dan masih banyak lagi masalah yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Disinilah peran sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami suatu agama.
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama dapat dipahami karena banyak ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya. Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, Jalaludin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama, dalam hal ini islam, terhadap masalah sosial, dengan mengajukkan lima alasan berikut.
Pertama, dalam Al-Quran atau kitab-kitab hadis proporsi terbesar kedua sumber hukum islam itu berkenaan urusan muamalah. Menurut Aytul Khumaini dalam bukunya Al-hukumah Al-islamiyah yang dikutip Jalaludin Rahmat yang mengungkapkan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah suatu perbandingan seratus untuk satu ayat ibadah, dan seratus muamalah (masalah sosial).
Kedua, ibadah yang mengandung segi masyarakat diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Oleh karena itu shalat yang dilakukan salat berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada  shalat sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
Ketiga,dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, kifaratnya (kifaratnya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya dengan jalan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur di siang hari pada bulan ramadhan atau ketika istri dalam keadaan haid, tebusannya adalah dinyatakan bahwa salah satu orang yang diterima shalatnya ialah orang yang menyantuni orang miskin, anak yatim, janda, dan yang mendapat musibah.
Melalui pendekatan sosiologis, agama dapat dipahami dengan mudah karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam Al-Quran misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.[8]

G.    PENDEKATAN FILOSOFIS
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) filosofis berarti berdasarkan filsafat, filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya. Teori ini merupakan teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan yang menghasilkan ilmu yang berintikan logika, estetika, dan metafisika. (kamus besar bahasa indonesia).
Pendekatan Filosofis merupakan metode yang sering digunakan dalam studi keagamaan untuk mengkaji agama. Dalam pendekatan ini penekanannya lebih pada upaya penyingkapan dan pemahaman fenomena agama daripada menilai evisensi dan mengevaluasi kebenaran apa-apa yang diklaim agama. Pendekatan filosofis dalam studi agama mungkin harus melakukan penelitian dan penyelidikan yang berfokus pada: bagaimana ide-ide dan konsep-konsep dalam sejarah filsafat memungkinkan kita memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang doktrin atau memahami pandangan para teolog secara lebih akurat. Pendekatan ini berhubungan dengan teologi sehingga muncul “teologi filosofis”karena perangkat-perangkat dan teknik-teknik digunakan untuk meneliti persoalan-persoaln teologis dan memungkinkan mahasiswa menjadikan teologi lebih baik.
Pendekatan filosofis tidak hanya berada dalam satu tempat, dan kenyataan bahwa pendekatan ini digunakan dalam sejumlah konteks yang berbeda-beda menambah krisis identitas yang dialami. Kita dapat menemukan orang yang menemukan orang yang melakukan pendekatan filosofis dalam studi keagamaan, departemen teologi, dan dalam departemen kemanusiaan.
Dalam kaitanya dengan agama, terdapat banyak dan beragam pendekatan filosofis. Lagi- lagi kita perlu melacak asal usul pendekatan filosofis dengan kembali keYunani kuno, namun kita perlu memahami bahwa di eropapemikiran filosofis tidak bermula dari tanggapannyaterhadap agama atau sebagai bagian dari penyelidikan religius dalam rangka memehami dunia. Beberapa filsuf Yunani awal yang termasyhur- Socrates, Plato, Aristoteles –berfilsafat tanpa merasa perlu memasukkan agama atau pemikiran religius. Salah satu alasannya bahwa budaya yunani adalah politeistik dikelilingi oleh banyk tuhan yang merupakan bagian dari kosmos dan di bangun oleh hukum-hukum dan prinsip-prinsip impersonal yang sama yang berjalan dalam kosmos, sebagai hail yang juga berlaku bagi manusia. Alasn kedua, filsuf-filsuf awal memulai membuang mite bdan sejarah-sejarah dunia, yang tidak memiliki landasan dan menggunakan rasionalitas kritis untukmenginterprestasikan dunia untuk mencapai pengetahuan. Merekaberharap sampai pada kebenaran denganmenggantikan mite, sejarah, dan tradisi klasik denga pembahasan yang lebih ternalar dan reflektif mengenai kehidupandan pengalaman manusia. Bahasan- bahasan yang lebih ternalar itu menjadi dasarbagi aktifitas filosofis. [9]
H.    PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
Definisi fenomenologis yaaitu barasal dari bahasa Yunani “fenomenon” yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena berkecakupan. Dalam  bbahasa indonesia dipakai istilah gejala, jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau gejala sesuatu yang menampakkan diri. Ilmu yang dipelajari adalah ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmun filsafat atau bagian dari filsafat.
Pendekatan Fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang kohern bagi studi agama. Sekarang kitadapat melihat perkembangan pendekatan ini dengan lebih detil.
Fenomenologi agama muncul di luar perdebatan itu, namun berangkat dari evaluasi atas anteseden (pendekatan yang telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja metodologisnya sendiri dalam studi agama dalam kaitannya sebagai pendekatan alternatif terhadap sujek agama. Meski demikian kita mesti berhati-hati terhadap kecenderungan menganggap fenomenologi sama sekali berbeda dari disiplin-disiplin lain. Keadaannya lebih komplek dan tidak stabil. Sarjana-sarjana awal dengan tekun memanfaatkan pandangan-pandangan pemikir dari disiplin-disiplin yang berbeda hingga sampai pada kesimpulan mereka sendiri.
Mengakui bahwa gagasan mengenai studi agama secara fenomenologis sesungguhnya merupakan upaya menjustifikasi (hukum/keadilan) studi agama berdasar istilah yang dimilikinya sendri dari pada berdasar sudut pandang teolog atau ilmuwan sosial. Gagasan umum yang terdapat dibalik pilihan ini, telah dan tetap bersifat liberal, yang menegaskan pentingnya pengkajian yang setara terhadap kultur keagamaan yang berbeda-beda yang melampaui atau yang ada sekarang, berempati dan berusaha memahami sudut pandang trads yang berbeda-beda yang melintasi spektrum praktik keagamaam dan mengonstruksi suatu kasus demi kepentingan studii agama dalam dunia akademik.
Fenomenologi yang tampak mulai menyelidiki dunia agama, melalui upaya kolektif, menemukan bahwa dunia ini sulit  dipetakan. Dia terancam oleh mereka yang berusaha dinilai baik umat beriman maupun peneliti-peneliti ilmiah lainnya yang mengunakan perangkat dan metode yang berbeda. Meskipun tujuannya lunak, dunia disekitarnya telah berubah (dia menjadi bagian pelaku perubahan-perubahan itu), dan dalam batas tertentu berbalik melawan meereka.
Fenomenologi telah dikritik dari perspektif yang berlawanan karena ia menghindarkan diri dari tanggung jawab mengidentifikasi kebenaran epistemologis sebagai dasar ditemukannya pengetahuan. Dapat dinyatakan bahwa kelemahan utama kerja fenomenologis, sebagai suatu kerja deskriptif yang terfokus pada penelitian objektif, secara tepat mengalahkan dirinya sendiri karena kecenderungannya untuk mengelilingi pertanyaan ini. Dalam mengupayakan suatu tipologi tentang manifestasi suatu watak komparatif atau suatu rekaman historis tradisi-tradisi keagamaan, terjadi pendistorsian tujuan studi agama untuk memahami sujek penelitiannya, dengan secara implisit mengmbil suatu pendirian agnostik dalam kaitan dengan watak pengetahuan atau realitas. Pandangan ini telah dikemukakan oleh John Bowker dalam the sense of god (1973), dan the religious imagination ad the sense of god (1978). Pernyataan Bowker adalah bahwa penelitian yang sejak awal mengeluarkan kemungkinan tugan sebagai agen pemahaman yang diperoleh melalui penelitian itu, telah menetapkan kemungkinan-kemungkinan yang dihasilkan. Dengan kata lain, jika tuhan berbuat di dunia – yakni anggapan teolog dan orang beriman – diletakkan dalam kurung maka dunia yang dikaji merupakan dunia yang berbedadari dunia teolog dan orag beriman. Objektifitas atau netralitas fenomenolog, berdasar penelitian yang cermat merupakan suatu keputusan yang berlawanan dengan pandangan dunia (woridview) keagaman. Bowker memahami komunikasi ini berlangsung melalui doa, penyembahan, dan intersesi. Kristismenya, sebagaimana diarahkan kepada fenomenolog, adalah suatu dalih agar berhenti dari duduk di pagar (suatu posisi yang tidak layak dan tidak stabil yang harus dijustifikasi oleh fenomenologi ) dan mengakui perlunya menduduki suatu wilayah epistimologis khususyakni menjadi seorang ilmuan prilaku atau teolog / orang beriman.[10]
IV.             KESIMPULAN
a.       Pendekatan teologis adalah suatu pendekatan yang normatif dan subjectif terhadap agama.
b.      Pendekatan psikologis merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini pengalaman keagamaan.
c.       Dengan menggunakan pendekatan sejarah ada minimal dua teori yang bisa digunakan yaitu : Idealist approach dan Reductionalist approach
d.      Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui.
e.       Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
f.       Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dengan masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan manusia yang menguasai hidupnya itu. Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama dapat dipahami karena banyak ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial.
g.      Pendekatan Filosofis merupakan metode yang sering digunakan dalam studi keagamaan untuk mengkaji agama. Dalam pendekatan ini penekanannya lebih pada upaya penyingkapan dan pemahaman fenomena agama daripada menilai evisensi dan mengevaluasi kebenaran apa-apa yang diklaim agama.
h.      fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau gejala sesuatu yang menampakkan diri. Ilmu yang dipelajari adalah ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmun filsafat atau bagian dari filsafat.
V.                PENUTUP
Demikian penulisan makalah yang dapat kami sajikan dan kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan dan pengembangan. Semoga bermanfaat. Amin.



[1] Prof.Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZFA, 2009, hlm. 189.
[2]Prof. DR. Rosihon Anwar, M.Ag dkk, Pengantar Studi Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009, hlm. 72.
[3] Prof.Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZFA, 2009, hlm. 200
[4] Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009, hlm. 223.
[5] Drs. Adeng Muchtar Ghazali M.Ag, Ilmu perbandingan Agama, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000, hlm. 46.
[6] Anwar rosihon, Pengantar studi islam, Bandung : pustaka setia, 2009, hlm. 82.
[7]   Abdullah yatimi, studi islam dan kontemporer, Jakarta : amzah, 2006, hlm. 242.
[8] Anwar rosihon , Pengantar Studi Islam, Bandung : pustaka setia, 2009, hlm. 85.
[9] Peter Connoly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta : Elkis, 2009, hlm. 149.
[10] Peter Connoly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta : Elkis, 2009, hlm. 105.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah yatimi, studi islam dan kontemporer, Jakarta : amzah, 2006.
Anwar rosihon, Pengantar studi islam, Bandung : pustaka setia, 2009.
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu perbandingan Agama, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000.
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZFA, 2009.
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta : Elkis, 2009.
Rosihon Anwar dkk, Pengantar Studi Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar