MAKALAH PSI- PENDEKATAN STUDI ISLAM
I. PENDAHULUAN
Sejalan dengan pembidangan ilmu dalam
studi islam, pendekatan studi islam pun mengalami perkembangan, sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Pada bab ini dijelaskan sejumlah pendekatan yang
dapat digunakan dalam studi islam. Diantara lain yaitu pendekatan : Teologis,
Yuridis, Psikologis, Historis, Antropologis, Sosiologis, Filosofis,
Fenomenologis.[1]
II. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana Pendekatan Teologis dalam Studi Islam ?
b. Bagaimana Pendekatan Yuridis dalam Studi Islam
c. Bagaimana Pendekatan Historis dalam Studi Islam ?
d. Bagaimana Pendekatan Psikologis dalam Studi Islam?
e. Bagaimana Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam ?
f. Bagaimana Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam ?
g. Bagaimana Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam ?
h. Bagaimana Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam ?
III. PEMBAHASAN
A. Pendekatan Teologis
Teologi dari segi etimologi berasal dari
bahasa yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang
berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah
pengetahuan ketuhanan . sedangkan pendekatan teologis adalah suatu pendekatan
yang normatif dan subjective terhadap agama. Pada umumnya, pendekatan ini
dilakukan dari dan oleh penganut agama dalam usahanya menyelidiki agama lain.
Secara harfiah, pendekatan teologis normatif dalam memahami agama dapat
diartikan sebagai upayamemahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu
ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dubandungkan dengan yang lainnya.
Menurut The Encyclopedia of American
Religion, di Amerika Serikat terdapat 1.200 sekte keagamaan. Satu diantaranya
adalah sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri
masal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam
Islam pun secara tradisional dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi
Asy’ariyah, dan teologi Maturidiyah. Sebelumnya terdapat pula teologi bernama
Khawarij dan Murji’ah.
Di masa sekarang ini, perbadaan dalam
bentuk formal teologis yang terjadi di antara berbagai madzhab dan aliran
teologis keagamaan. Namun, pluralitas dalam perbedaan tersebut seharusnya tidak
membawa mereka pada sikap saling bermusuhan dan saling menonjolkan segi-segi
perbedaan masing-masing secara arogan, tapi sebaiknya dicari titik persamaanya
untuk menuju subtansi dan misi agama yang paling suci. Salah satunya adalah
dengan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam yang dilandasi pada prinsip
keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan, saling menolong, saling
mewujudkan kedamaian, dan seterusnya. Jika misi tersebut dapat dirasakan,
fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat dirasakan. [2]
B. PENDEKATAN YURIDIS
Ada beberapa teori yang dapat digunakan
dengan kajian pendekatan yuridis dan sosiologi hukum. Misalnya: secara
empirik-induktif, teori pengakuan (anerkennungs theorie) menyatakan, bahwa
hukum mempunyai kekuatan berlaku jika diterima dan diakui oleh masyarakat.
Secara normatif-deduktif, teori kekuatan (machts theorie) menyatakan, bahwa
hukum mempunyai kekuatan berlaku jika dipaksakan oleh penguasa, terlepas
diterima atau tidak oleh masyarakat.
Kaitannya dengan usaha menafsirkan
perundang-undangan ada beberapa teori dan sekaligus pendekatan (approach) yang
dapat digunakan, yakni:
1. The
literal approach (teori harfiah/literal)
Maksud teori ini adalah menafsirkan teks
perundang-undangan dengan mengandalkan teks secara harfiah (bahasa).
2. The
golden rule (teori emas)
Teori yang sebenarnya pengembangan atau
perbaikan teori literal ini bermakna, dengan teori ini penafsiran pengambilan
makna biasa dan berpegang teguh pada makna itu, kecuali kalau makna tersebut
tidak sesuai dengan maksud badan perundang-undangan yang sedang dibahas.
3. The
mischief rule (kaedah menghilangkan kemudratan)
Teori ini berasumsi, kadang-kadang dalam
satu kasus tertentu dalam undang-undang tidak begitu saja bisa dipakai dan
dipahami dengan baik. Sebagai jalan keluarnya, seorang penafsir atau hakim bisa
melakukan dengan cara menjauhi kemungkinan munculnya kemudaratan.
4. The
purposive approach (teori tujuan)
Teori ini/ mencakup teori
harfiah/literal (the literal approach), teori keemasan (the golden rule) dan
teori kemudratan (the mischief rule), yaitu menafsirkan undang-undang sesuai
dengan tujuan mereka yang membuat undang-undang.
Lebih lanjut dapat dicatat, untuk
menganalisis hukum sebagai satu system, ada tiga aspek yang dapat dikaji, yakni
materi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan
budaya hukum (legal culture).
Dengan demikian, objek kajian materi
hukum (legal substance) adalah materi atau isi dari hukum/undang-undang. Fokus
kajian struktur hukum (legal structure) adalah lembaga dan penegak hukum;
hakim, jaksam pengacara, proses dan struktur. Sementara fokus kajian budaya
hukum (legal culture) adalah masyarakat yang menjadi subjek yang diatur oleh
hukum, menyangkut ide, gagasan, nilai-nilai, norma, kebiasaan, dan semacamnya.
Sementara peran hukum secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni hukum sebagai alat pengatur atau pengontrol
(law as a toot of social control) dan hukum sebagai alat rekayasa/perubahan
sosial (law as a tool of social engineering), bahkan ahli sociological
jurisprudence, Roscoe Pund sangat yakin bahwa hukum dapat menjadi alat untuk
mengubah masyarakat kearah keadaan yang lebih baik.[3]
C. Pendekatan Histori
Dengan menggunakan pendekatan sejarah
ada minimal dua teori yang bisa digunakan yaitu:
1. Idealist
approach
2. Reductionalist
approach
Maksud idealist approach adalah seorang
peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan
mempercayai secara penuh fakta yang ada tanpa keraguan. Sedangkan
reductionalist approach adalah seorang peneliti yang berusaha memahami dan
menafsirkan fakta sejarah dengan penuh keraguan. Seperti dijelaskan sebelumnya
ada 3 teori lain yang penting dipahami dengan pendekatan sejarah, yakni
diakronik, sinkronik, dan sistem nilai.
Maksud diakronik adalah penelusuran
sejarah dan perkembangan suatu fenomena yang sedang diteliti. Misalnya, kalau
sedang meneliti “konsep riba menurut Muhammad ‘Abduh”, diakroninya adalah harus
lebih dahulu membahas kajian-kajian orang sebelumnya yang pernah membahas
tentang riba.
Adapun sinkronik adalah kontekstualisasi
atau sosiologis kehidupan yang mengitari fenomena yang sedang diteliti. Kembali
pada contoh konsep riba Muhammad ‘Abduh, maka sosial kehidupan Muhammad ‘Abduh
dan sosial kehidupan tokoh-tokoh yang pernah membahas fenomena yang sama juga
harus dibahas.
Sedang sistem nilai adalah sistem nilai
atau budaya sang tokoh dan budaya dimana dia hidup. Maka penelitian dengan
teori diakroni, sinkronik, dan system budaya adalah penelitian yang menelusuri
latar belakang dan perkembangan fenomena yang diteliti lengkap dengan sejarah
sosio-historis dan nilai budaya yang mengitarinya. Maka menjadi wajar kalau
alat analisis ini lebih dikenal sebagai alat analisis sejarah dan atau sosial
(sosiologi).[4]
D. Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini merupakan usaha untuk
memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu
esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi,
pengalaman tersebut dapat diketahui. Sentimen-sentimen individu dan kelompok
berikut gerak dinamisnya, harus pula diteliti dan inilah yang menjadi tugas
interpretasi psikologis.
Interpretasi agama melalui pendekatan
psikologis memang berkembang dan dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan
nama psikologi agama. Objek ilmu ini adalah manusia, gejala-gejala empiris dari
keagamaanya. Karena ilmu ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu
agama, metodenya pun tidak berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama
itu diwahyukan Tuhan atau tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah
yang tidak empiris lainnya. Oleh karena itu pendekatan psikologis tidak berhak
menentukan benar salahnya suatu agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki
teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu
yang akan datang.
Selain itu, sifat ilmu pengetahuan
sifatnya adalah empirical science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun
secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah
fakta yang dapat diamati dengan pola indera manusia pada umumnya, atau dapat
dialami oleh semua orang biasa, sedangkan Dzat Tuhan,wahyu,setan,dan fakta gaib
lainnya tidak dapat diamati dengan pola indera orang umum dan tidak semua orang
mampu mengalaminya. (Aziz Ahyadi,1981:9;Zakiah daradjat,1979:17-19).
Sumber-sumber ilmiah untuk mengumpulkan
data ilmiah melalui pendekatan psikologi ini dapat diambil dari:
1. Pengalaman
dari orang-orang yang masih hidup
2. Apa
yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri
3. Riwayat
hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para
ahli agama (Zakiah Daradjad,1979:20)[5]
E. PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Dalam melukiskan garis pemisah yang jelas
antara antropologi dan sosiologi karena kedua macam ilmu ini terbagi bukan
karena metode yang dipakai oleh para sarjana, melainkan metode yang dipakai
oleh tradisi. Bagaimanapun, antropologi telah memusatkan perhatiannya kepada
kebudayaan-kebudayaan primitif yang tidak bisa baca-tulis tanpa teknik.
Pendekatan antropologis dalam memahami
agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama dengan cara
melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah- masalah
yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi
dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi
dalam kaitannya hal ini, menurut Dawam Rahadjo, lebih mengutamakan pengamatan
langsung. Bahkan bersifat partisipatif. Dari sini, timbul kesimpulan-kesimpulan
yang bersifat induktif . penelitian antrpologis yang induktif yaitu turun
langsung kelapangan atau dengan upaya membebaskan diri dari kungkugan
teori-teori fornal yang pada dasarnya sangat abstrak .
Dalam berbagai penelitian antropologi
agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan
kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan miskin
pada umumnya lebih tertarik pada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat
messianic, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Adapun
golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat
yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan ini menguntungkan pihaknya.
Karl Mar (1818-1883) sebagai contoh: melihat agama sebagai opium atau candu
masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik
atau yang biasa disebut teori pertentagan kelas.
Melalui pendekatan antropologis, kita
melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembagan
ekonomi suatu masyarakat. Dalam hal ini, jika ingin mengubah pandangan dan sikap
etos kerja seseorang, kita mengubah pandangan keagamaannya.
Selanjutnya, melalui pendekatan
antropologis, kita dapat melihat agama adalah hubungannya dengan mekanisasi
pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui
oleh para peneliti sosial keagamaan. Seperti kasus di indonesia, karya Clifford
Geertz, The Religion Of Java dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini.
Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di jawa:
santri, priyayi,dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di jawa
timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuan sosial yang
lain, konstruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang
berpikir ulang untuk mengecek ulang keabsahannya.
Melalui pendekatan antropologis
fenomenologis, kita dapat melihat hubungan antara agama dan negara (state dan
religion). Topik ini selalu menarik dapat di lihat dari fenomena negara agama
seperti : Vatikan dalam bandingannya dengan negara-negara sekuler dikelilingnya
di Eropa Barat. Kenyataannya dinegara Turki modern yang mayoritas penduduknya
beragama islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut suklarisme sebagai prinsip
dasar kenegaraan yang tidak dapat di tawar . Belum lagi, meneliti dan
membandingkan kerajaan Saudi Arabia dan Negara Republik Iran yang berdasarkan
islam. Orang akan bertanya apa sebenarnya yang menyebabkan kedua sistem
pemerintahan tersebut sangat BERBEDA, yaitu kerajaan dan republik, tetapi
sama-sama menyatakan islam sebagai asa tunggalnya. Belum lagi, jika
dibandingkan dengan negara kesatuan republik indonesia, yang mayoritas
penduduknya beragama islam, tetapi menjadikan pancasila serbagai asas tunggal.
Melalui pendekatan antropologis, dapat
ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Signum Frued (1856-1939) pernah
mengaitkan agama dengan oedipus kompleks, yakni pengalaman seorang anak yang
tidak berdaya di hadapan kekuatan dan kepada bapaknya. Agama dinilainya sebagai
neorosis. Dalam psikonalisisnya, dia megungkapkan hubungan antara ide, ego, dan
superego. Meskipun penelitian Frued berakhir dengan kurang simpati terhadap
realita keberagaman manusia, temuannya ini cukup memberi peringatan terhadap
beberapa kasus keberagaman tertentu yang lebih terkait dengan patologi sosial
maupun kejiwaannya.
Melalui pendekatan antropologis,
sebagaimana dijelaskan di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan
berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula, agama terlihat akrab
dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Pendekatan antropologis seperti itu
diperlukan, sebab banyak hal yang dibicarakan agama hanya dijelaskan dengan
tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam Al-Qur’an yang
digunakan sebagai sumber agama ajaran islam misalnya, kita
memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung arafah, kisah Ashabul
Khafi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya.
Di mana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan di mana kira- kira gua itu
dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan seperti itu, ataukah hal
demikian merupakan kisah fiktif ? Tentu masih banyak lagi contoh lain yang
hanya dapat dijelaskan dengan ahli geografis dan arkologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologis
sangat diutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama
tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan melalui bantuan
ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya. [6]
F. PENDEKATAN SOSIOLOGI
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hidup bersama dengan masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan manusia yang
menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup
bersama, cara terbentuk dan tumbuh, dan cara hidup bersama dalam tiap
persekutuan hidup manusia. Menurut Soejono Soekantomengartikan sosiologi
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan
penilaian.
Dari dua definisi tersebut
terlihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan keadaan masyarakat
lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang
saling berkaitan. Dan juga mempelajari kehidupan masyarakat dan
menyelidiki ikatan- ikatan antara manusia yang saling
berkaitan serta keyakinan-keyakinan yang mendasar terjadinya proses
tersebut. [7]
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah
satu pendekatan dalam memahami pendekatan. Hal ini dapat dimengerti karena
banyak kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat
apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam ajaran islam dapat
dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnnya bisa jadi
penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus di bantu
Nabi Harun dan masih banyak lagi masalah yang lain. Beberapa peristiwa tersebut
baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu
sosial. Disinilah peran sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami suatu
agama.
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam
memahami agama dapat dipahami karena banyak ajaran agama yang berkaitan dengan
masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini
selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk
memahami agamanya. Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, Jalaludin
Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama, dalam hal ini islam,
terhadap masalah sosial, dengan mengajukkan lima alasan berikut.
Pertama, dalam Al-Quran atau kitab-kitab
hadis proporsi terbesar kedua sumber hukum islam itu berkenaan urusan muamalah.
Menurut Aytul Khumaini dalam bukunya Al-hukumah Al-islamiyah yang dikutip
Jalaludin Rahmat yang mengungkapkan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah
dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah suatu perbandingan
seratus untuk satu ayat ibadah, dan seratus muamalah (masalah sosial).
Kedua, ibadah yang mengandung segi
masyarakat diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat
perorangan. Oleh karena itu shalat yang dilakukan salat berjamaah dinilai lebih
tinggi nilainya dari pada shalat sendirian (munfarid) dengan ukuran
satu berbanding dua puluh derajat.
Ketiga,dalam islam terdapat ketentuan
bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar
pantangan tertentu, kifaratnya (kifaratnya) ialah melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya,
jalan keluarnya dengan jalan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi
orang miskin. Bila suami istri bercampur di siang hari pada bulan ramadhan atau
ketika istri dalam keadaan haid, tebusannya adalah dinyatakan bahwa salah satu
orang yang diterima shalatnya ialah orang yang menyantuni orang miskin, anak
yatim, janda, dan yang mendapat musibah.
Melalui pendekatan sosiologis, agama
dapat dipahami dengan mudah karena agama itu sendiri diturunkan untuk
kepentingan sosial. Dalam Al-Quran misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan
dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya
kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan. Semua
itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah
sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.[8]
G. PENDEKATAN FILOSOFIS
Dalam kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI) filosofis berarti berdasarkan filsafat, filsafat merupakan pengetahuan
dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab,
asal dan hukumnya. Teori ini merupakan teori yang mendasari alam pikiran atau
suatu kegiatan yang menghasilkan ilmu yang berintikan logika, estetika, dan
metafisika. (kamus besar bahasa indonesia).
Pendekatan Filosofis merupakan metode
yang sering digunakan dalam studi keagamaan untuk mengkaji agama. Dalam
pendekatan ini penekanannya lebih pada upaya penyingkapan dan pemahaman
fenomena agama daripada menilai evisensi dan mengevaluasi kebenaran apa-apa
yang diklaim agama. Pendekatan filosofis dalam studi agama mungkin harus
melakukan penelitian dan penyelidikan yang berfokus pada: bagaimana ide-ide dan
konsep-konsep dalam sejarah filsafat memungkinkan kita memperoleh pemahaman
yang lebih baik tentang doktrin atau memahami pandangan para teolog secara
lebih akurat. Pendekatan ini berhubungan dengan teologi sehingga muncul
“teologi filosofis”karena perangkat-perangkat dan teknik-teknik digunakan untuk
meneliti persoalan-persoaln teologis dan memungkinkan mahasiswa menjadikan teologi
lebih baik.
Pendekatan filosofis tidak hanya berada
dalam satu tempat, dan kenyataan bahwa pendekatan ini digunakan dalam sejumlah
konteks yang berbeda-beda menambah krisis identitas yang dialami. Kita dapat
menemukan orang yang menemukan orang yang melakukan pendekatan filosofis dalam
studi keagamaan, departemen teologi, dan dalam departemen kemanusiaan.
Dalam kaitanya dengan agama, terdapat
banyak dan beragam pendekatan filosofis. Lagi- lagi kita perlu melacak asal
usul pendekatan filosofis dengan kembali keYunani kuno, namun kita perlu
memahami bahwa di eropapemikiran filosofis tidak bermula dari
tanggapannyaterhadap agama atau sebagai bagian dari penyelidikan religius dalam
rangka memehami dunia. Beberapa filsuf Yunani awal yang termasyhur- Socrates,
Plato, Aristoteles –berfilsafat tanpa merasa perlu memasukkan agama atau
pemikiran religius. Salah satu alasannya bahwa budaya yunani adalah politeistik
dikelilingi oleh banyk tuhan yang merupakan bagian dari kosmos dan di bangun
oleh hukum-hukum dan prinsip-prinsip impersonal yang sama yang berjalan dalam
kosmos, sebagai hail yang juga berlaku bagi manusia. Alasn kedua, filsuf-filsuf
awal memulai membuang mite bdan sejarah-sejarah dunia, yang tidak memiliki
landasan dan menggunakan rasionalitas kritis untukmenginterprestasikan dunia
untuk mencapai pengetahuan. Merekaberharap sampai pada kebenaran
denganmenggantikan mite, sejarah, dan tradisi klasik denga pembahasan yang
lebih ternalar dan reflektif mengenai kehidupandan pengalaman manusia. Bahasan-
bahasan yang lebih ternalar itu menjadi dasarbagi aktifitas filosofis. [9]
H. PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
Definisi fenomenologis yaaitu barasal
dari bahasa Yunani “fenomenon” yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat
karena berkecakupan. Dalam bbahasa indonesia dipakai istilah gejala,
jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau gejala
sesuatu yang menampakkan diri. Ilmu yang dipelajari adalah ilmu tentang
perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului
ilmun filsafat atau bagian dari filsafat.
Pendekatan Fenomenologis mula-mula
merupakan upaya membangun suatu metodologi yang kohern bagi studi agama.
Sekarang kitadapat melihat perkembangan pendekatan ini dengan lebih detil.
Fenomenologi agama muncul di luar
perdebatan itu, namun berangkat dari evaluasi atas anteseden (pendekatan yang
telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja metodologisnya
sendiri dalam studi agama dalam kaitannya sebagai pendekatan alternatif
terhadap sujek agama. Meski demikian kita mesti berhati-hati terhadap
kecenderungan menganggap fenomenologi sama sekali berbeda dari
disiplin-disiplin lain. Keadaannya lebih komplek dan tidak stabil.
Sarjana-sarjana awal dengan tekun memanfaatkan pandangan-pandangan pemikir dari
disiplin-disiplin yang berbeda hingga sampai pada kesimpulan mereka sendiri.
Mengakui bahwa gagasan mengenai studi
agama secara fenomenologis sesungguhnya merupakan upaya menjustifikasi
(hukum/keadilan) studi agama berdasar istilah yang dimilikinya sendri dari pada
berdasar sudut pandang teolog atau ilmuwan sosial. Gagasan umum yang terdapat
dibalik pilihan ini, telah dan tetap bersifat liberal, yang menegaskan pentingnya
pengkajian yang setara terhadap kultur keagamaan yang berbeda-beda yang
melampaui atau yang ada sekarang, berempati dan berusaha memahami sudut pandang
trads yang berbeda-beda yang melintasi spektrum praktik keagamaam dan
mengonstruksi suatu kasus demi kepentingan studii agama dalam dunia akademik.
Fenomenologi yang tampak mulai
menyelidiki dunia agama, melalui upaya kolektif, menemukan bahwa dunia ini
sulit dipetakan. Dia terancam oleh mereka yang berusaha dinilai baik
umat beriman maupun peneliti-peneliti ilmiah lainnya yang mengunakan perangkat
dan metode yang berbeda. Meskipun tujuannya lunak, dunia disekitarnya telah
berubah (dia menjadi bagian pelaku perubahan-perubahan itu), dan dalam batas
tertentu berbalik melawan meereka.
Fenomenologi telah dikritik dari
perspektif yang berlawanan karena ia menghindarkan diri dari tanggung jawab
mengidentifikasi kebenaran epistemologis sebagai dasar ditemukannya
pengetahuan. Dapat dinyatakan bahwa kelemahan utama kerja fenomenologis,
sebagai suatu kerja deskriptif yang terfokus pada penelitian objektif, secara
tepat mengalahkan dirinya sendiri karena kecenderungannya untuk mengelilingi
pertanyaan ini. Dalam mengupayakan suatu tipologi tentang manifestasi suatu
watak komparatif atau suatu rekaman historis tradisi-tradisi keagamaan, terjadi
pendistorsian tujuan studi agama untuk memahami sujek penelitiannya, dengan
secara implisit mengmbil suatu pendirian agnostik dalam kaitan dengan watak
pengetahuan atau realitas. Pandangan ini telah dikemukakan oleh John Bowker
dalam the sense of god (1973), dan the religious imagination ad the sense of
god (1978). Pernyataan Bowker adalah bahwa penelitian yang sejak awal
mengeluarkan kemungkinan tugan sebagai agen pemahaman yang diperoleh melalui
penelitian itu, telah menetapkan kemungkinan-kemungkinan yang dihasilkan.
Dengan kata lain, jika tuhan berbuat di dunia – yakni anggapan teolog dan orang
beriman – diletakkan dalam kurung maka dunia yang dikaji merupakan dunia yang
berbedadari dunia teolog dan orag beriman. Objektifitas atau netralitas
fenomenolog, berdasar penelitian yang cermat merupakan suatu keputusan yang
berlawanan dengan pandangan dunia (woridview) keagaman. Bowker memahami
komunikasi ini berlangsung melalui doa, penyembahan, dan intersesi.
Kristismenya, sebagaimana diarahkan kepada fenomenolog, adalah suatu dalih agar
berhenti dari duduk di pagar (suatu posisi yang tidak layak dan tidak stabil
yang harus dijustifikasi oleh fenomenologi ) dan mengakui perlunya menduduki
suatu wilayah epistimologis khususyakni menjadi seorang ilmuan prilaku atau
teolog / orang beriman.[10]
IV. KESIMPULAN
a. Pendekatan teologis adalah suatu pendekatan yang normatif dan subjectif
terhadap agama.
b. Pendekatan psikologis merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari
aspek-aspek batini pengalaman keagamaan.
c. Dengan menggunakan
pendekatan sejarah ada minimal dua teori yang bisa digunakan yaitu : Idealist
approach dan Reductionalist approach
d. Pendekatan ini
merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini pengalaman
keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar ada dan bahwa
dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui.
e. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah
satu upaya dalam memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
f. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dengan masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan manusia yang menguasai hidupnya itu. Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama dapat dipahami karena
banyak ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial.
g. Pendekatan Filosofis merupakan metode yang sering digunakan dalam studi
keagamaan untuk mengkaji agama. Dalam pendekatan ini penekanannya lebih pada
upaya penyingkapan dan pemahaman fenomena agama daripada menilai evisensi dan
mengevaluasi kebenaran apa-apa yang diklaim agama.
h. fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau gejala
sesuatu yang menampakkan diri. Ilmu yang dipelajari adalah ilmu tentang
perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului
ilmun filsafat atau bagian dari filsafat.
V. PENUTUP
Demikian penulisan makalah yang dapat
kami sajikan dan kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
perbaikan dan pengembangan. Semoga bermanfaat. Amin.
[1] Prof.Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta :
ACAdeMIA + TAZZFA, 2009, hlm. 189.
[2]Prof. DR. Rosihon
Anwar, M.Ag dkk, Pengantar Studi Islam, Bandung : CV.
Pustaka Setia, 2009, hlm. 72.
[3] Prof.Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta :
ACAdeMIA + TAZZFA, 2009, hlm. 200
[4] Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta :
ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009, hlm. 223.
[5] Drs. Adeng Muchtar Ghazali M.Ag, Ilmu perbandingan
Agama, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000, hlm. 46.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah yatimi, studi islam dan kontemporer, Jakarta : amzah, 2006.
Anwar rosihon, Pengantar studi islam, Bandung : pustaka setia, 2009.
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu perbandingan Agama, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2000.
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta :
ACAdeMIA + TAZZFA, 2009.
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta : Elkis, 2009.
Rosihon Anwar dkk, Pengantar
Studi Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar