Rabu, 03 Desember 2014

merombak paradigma nilai pendidikan karakter berbasis pesantren


MEROMBAK PARADIGMA NILAI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PESANTREN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Karya Tulis Ilmiah
Dosen Pengampu : Syamsul Ma’arif, M.Ag


Disusun Oleh :
Alina Aunun Faiqoh                (123911021)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014


I.                   PENDAHULUAN

Pendidikan pada hakikatnya merupakan pencerminan kondisi negara dan kekuatan social-politik yang tengah berkuasa, pendidikan dengan sendirinnya merupakan refleski dari orde penguasa yang ada. Masalah pendidikan akan menjadi masalah politik apabila pemerintah ikut terlibat di dalamnya, di Negara otoriter yang menganut paham pemerintahan totalitarianism, pemerintah akan membatasi kebebasan individu dengan mengeluarkan kebijakan pendidikan yang uniform bagi semua anak didik bagi Negara semacam ini, pendidikan adalah kekuatan politik untuk mendominasi rakyat, pemerintah secara mutlak mengatur pendidikan sebab tujuan pendidikan adalah membuat rakyat menjadi alat Negara, sebagai respon terhadap pandangan ini muncul paham pemerintahan yang menerapkan konsep negara demokrasi yang mengehendaki adanya demokratisasi dalam pendidikan.
Demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan suatu keharusan, agar dapat melahirkan manusia-manusia yang berwatak demokrasi. Reformasi pendidikan melaluidemokrasi pendidikan, menurut Zamroni dapat dilakukan dalam tiga aspek pendidikan yaitu, regulatori, profesionalitas, dan manajemen. Aspek regulatori dititikberatkan pada reformasi kurikulum yang berkaitan dengan perumusan tujuan pendidikan, penerapan kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum), pergeseran paradigma kerja guru dari responsibility kea rah accountability dan pelaksanaan evaluasi dengan esei dan portofolio. Aspek profesionalitas ditunjukkan untuk mengembalikan hak-hak dan wewenang kepada guru dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Aspek ini dapat ditempuh melalui pengembangan kesadaran hak-hak politik guru dan pemberian kesempatan kepada guru untuk mengembangan dirinya sedangkan aspek manajemen pendidikan ditunjukan untuk mengubah pusat-pusat pengambilan dan kendali pendidikan. Reformasi aspek manajemen ini dapat dilakukan dengan dua cara, pertama, memberikan kesempatan yang lebih luas kepada lembaga pendidikan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan pendidikan. Bentuk kebijakan ini adalah menumbuhkan manajemen berbasis sekolah (school-based management). Kedua, memberikan kesempatan yang luas kepada warga masyarakat untuk berpastisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Kebijakan ini dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan berbasis masyarakat (community-based education).
Tulisan ini dengan telaah filosofis bermaksud mengungkap ide-ide dan konsep-konsep dasar yang terkandung dalam pendidikan berbasis masyarakat. Apa dan bagaimana pendidikan berbasis masyarakat itu? Mengapa ia perlu dilakukan dalam sebuah penyelenggaraan pendidikan? Masalah pendidikan berbasis masyarakat sesungguhnya merupakan wacana baru yang muncul dalam dunia pendidikan, terutama bagi ma­syarakat Indonesia. Ia muncul berkaitan dengan reformasi pendidikan yang menghendaki adanya pergeseran paradigma pendidikan dari sen­tralistik ke desentralistik, bergeser dari praktik pendidikan yang otoriter ke praktik pendidikan demokratis yang membebaskan, serta dari konsep pendidikan yang berorientasi pemerintah (state oriented) ke konsep pendidikan yang berorientasi masyarakat (community oriented).
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian pendidikan karakter?
B.     Bagaimana peranan pendidikan agama dalam pembentukan karakter?
C.     Apa tujuan pendidikan karakter?
D.    Bagaimana karakteristik pendidikan di dalam pesantren?
E.     Bagaimana perkembangan pendidikan islam di dalam pesantren?
F.      Bagaimana sistem pendidikan di dalam pesantren?
III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendidikan Karakter
Secara harfiah, karakter berasal dari bahasa inggris character yang berarti watak, karakter, atau sifat.[1] Dalam bahasa Indonesia, watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatanya, dan berarti pula tabi’at, dan budi pekerti. Selanjutnya, jika ada ungkapan pendidikan karakter, maka yang dimaksud adalah upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian.[2] Sedangkan yang dimaksud dengan sifat adalah rupa dan keadaan yang tampak pada sesuatu benda. Selanjutnya kata pendidikan secara umum adalah upaya memengaruhi orang lain agar berubah pola pikir, ucapan, perbuatan, sifat dan wataknya sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, antara kata pendidikan dengan kata karakter menjadi amat dekat substansi.
Dalam bahasa Arab karakter sering disebut dengan istilah akhlak yang Ibn Miskawaih diartikan sebagai: hal linnafs da’iyah lahaa ila af’aliha min ghair fikrin wa laa ruwiyatin. Artinya sifat atau keadaan yang tertanam dalam jiwa yang paling dalam yang selanjutnya lahir dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi. Dengan demikian sebuah perbuatan akhlaki setidaknya memiliki lima ciri, yaitu:
(1) perbuatan yang sudah tertanam kuat dan mendarah daging dalam jiwa.
(2) perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran lagi, sebagai akibat dari keadaannya yang sudah mendarah daging.
(3) perbuatan yang muncul atas pilihan bebas dan bukan paksaan.
(4) perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan rekayasa.
(5) perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah Swt semata.[3]
Karakter merupakan struktur antropologis manusia, di sanalah manusia menghayati kebebasannya dan menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologi ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses.
 Dinamika ini menjadi semacam dialektika terus-menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasanya dan mengatasi keterbatasannya. Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologi individu yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratnya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral dalam mengatasi determinasi alam dalam dirinya, demi proses penyempurnaan dirinya secara terus-menerus.
Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya berurusan dengan penanaman nilai pada diri siswa atau peserta didik, melainkan merupakan sebuah usaha bersama untuk menciptakan sebuah lingkungan pendidikan tempat setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah persyaratan bagi kehidupan moral dewasa.[4]
Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya sekadar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji. Melalui pendidikan karakter ini diharapkan dapat dilahirkan manusia yang memiliki kebebasan menentukan pilihannya, tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab, baik terhadap Tuhan, manusia, masyarakat, maupun dirinya sendiri.
Pengertian pendidikan karakter yang demikian itu jika dihubungkan dengan Al-Quran dan Al-Sunnah tampak memiliki berbagai kesamaan. Di dalam Al-Quran kata-kata karakter dalam arti sifat, tabi’in dan sikap batin sebagaimana tersebut di atas mirip dengan pengertian akhlaq yang jamanya khuluq,
Ketika menjelaskan tentang karakter, Al-Quran memperkenalkan sejumlah karakter yang buruk yang apabila orang mempraktikannya akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Quran misalnya memperkenalkan karakter fir’aun yang sombong, melanggar larangan tuhan, melampaui batas, berbuat zalim, durhaka, dictator, dan otoriter, bahkan mengaku dirinya sebagai tuhan; dan memperkenalkan pula nabi Muhammad Saw yang keras dan tidak mau kompromi terhadap kemungkaran, kasih saying terhadap sesame, senantiasa ruku’, sujud, dan senantiasa mengharapkan keridho’an Allah.
Pendidikan karakter menurut Al-Quran lebih ditekankan pada membiasakan agar orang mempraktikkan dan mengamalkan nilai-nilai yang baik dan menjauhi nilai-nilai yang buruk dan ditunjukan agar manusia mengetahui tentang cara hidup, atau bagaimana seharusnya hidup, karakter (akhlak) menjawab pertanyaan manusia tentang manakah hidup yang baik bagi manusia, dan bagaimanakah seharunya berbuat, agar hidup meiliki nilai, kesucian, kemuliaan.[5]

B. Peranan Pendidikan Agama dalam Pembentukan Karakter
Perdebatan yang tidak akan pernah berhenti di kalangan kita tentang seputar peranan pendidikan agama bagi pembentukan karakter. Negara kita berlandaskan pancasila dimana sila pertama adalah menyatakan bahwa negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa. Intinya adalah Negara kita bukan atheis tapi Negara yang religious yang menjadikan sila pertama dari pancasila tersebut sebagai inti dari keempat sila yang lainnya.
Mantan presiden RI pertama Soekarno berulang-ulang menegaskan: “Agama adalah unsur mutlak dalam national and character building”. Hal ini diperkuat dengan pendapat Sumahamijaya yang mengatakan bahwa karakter harus mempunyai landasan yang kokoh dan jelas. Tanpa landasan yang jelas, karakter kemandirian tidak punya arah, mengambang, keropos, sehingga tidak berarti apa-apa. Oleh karenannya, landasan dari pendidikan karakter itu tidak lain haruslah agama.
Salah satu pemikir pendidik karakter kontemporer, Thomas Lickona misalnya, memiliki pandangan bahwa pendidikan karakter dan pendidikan agama semestinya dipisahkan dan tidak dicampuradukkan. Bagi dia, nilai yang berkaitan dengan pendidikan karakter merupakan nilai-nilai dasar yang harus dihayati jika sebuah masyarakat mau hidup dan bekerja secara damai. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, perhormatan terhadap yang lain, tanggung jawab pribadi, perasaan senasib sependeritaan (public copassion), pemecah konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter.
Berbeda lagi dengan pendapat Koesuma, dalam konteks kehidupan bermasyarakat di Indonesia, pemisahan teoritis antara pendidikan agama dan pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan patutlah dipertanyakan kesahihannya. Sebab, jika pemisahan itu terjadi dasar kehidupan bernegara kita akan timpang. Palig tidak, ada dua alas an Lickona yang kurang tepat.
Pertama, Lickona mengatakan bahwa kehidupan religious seseorang merupakan urusan antara individu dan Tuhannya sebuah pemahaman tentang kehidupan beragama yang kurang tepat, karena keberagaman dapat menjadi fondasi kokoh bagi pelaksanaan pendidikan karakter, terutama agama akan menjadi dasar kokoh tak tergoyahkan bagi pelaksanaan nilai-nilai moral ketika nilai-nilai moral tersebut diyakini berasal dari perintah dari Tuhan.
Kehidupan rohani yang matang akan semakin membuat manusia semakin manusiawi, dan membuatnya semakin dapat melengkapi fitrahnya sebagai manusia, yaitu manusia yang senantiasa ada bersama orang lain. Jika pendidikan agama itu malah menjadi penghambat integrasi bagi pelaksanaan nilai-nilai moral, maka yang keliru bukanlah ajaran agamanya, melainkan cara menafsirkan ajaran agama itu dalam tataran praktis.
Kedua, mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan relasi antar individu di dalam masyarakat akan menciptakan corak relasi antarpribadi yang semu. Sebab, individu yang dihormati itu ternyata tidak termasuk keyakinan agamanya. Dan menghormati  individu sesungguhnya juga merupakan kesediaan dan keterbukaan hati untuk menghormati individu lain jika ia tidak dapat menghargai keyakinan dan kepercayaan iman orang lain.
Oleh karena itu, pendidikan karakter jika dipahami secara demikian tidak akan kokoh dan tidak akan stabil, sebab mereka hanya menghargai sebagian dari kekayaan individu. Mereka tidak sungguh-sungguh ingin menghargai individu itu apa adanya, maka pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekadar hubungan horizontal antara individu dan individu lain, tapi antara individu yang memiliki hubungan vertical dengan Allah yang dipercaya dan diimani. Integrasi antara pendidikan agama dan pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan kita merupakan sebuah keharusan jika kita ingin tetap setia pada pancasila.
Hal yang perlu diperhatikan bagi integrasi antara pendidikan agama dan pendidikan karakter adalah kaitan antara keyakinan agama dan kebersamaan hidup dalam masyarakat yang bhineka seperti Indonesia. Nilai-nilai keagamaan tidak dapat dijadikan sebagai dasar bagi kehidupan bersama di mana terdapat berbagai macam perbedaan keyakinan iman di dalam masyarakat. Justru karena memiliki unsur yang lebih dalam dan fundamental bagi pribadi, kesepakatan hidup bersma tidak dapat ditentukan oleh keyakinan pemeluk agama tertentu dalam sebuah masyarakat. Inilah yang ada dalam benak para pendiri bangsa ini ketika mereka melepaskan tujuan kata dalam piagam Jakarta.
Nilai-nilai agama dan nilai demokrasi bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan. Jika dipahami secara lebih utuh dan integral, nilai-nilai ini dapat memberikan sumbangan yang efektif bagi sebuah penciptaan masyarakat yang stabil dan mampu bekerja samadalam mencapai tujuan bersama. Ini sesungguhnya yang menjadi semangat dlam pasal-pasal pancasila oleh karena itu, pendidkan agama merupakan dukungan dasar yang tak tergantikan bagi keutuhan pendidkan karakter, karena dalam agama terkandung nilai-nilai luhur yang mutlak kebaikan dan kebenarannya.[6]
C.    Tujuan Pendidikan Karakter
Menurut bahasa, karakter berasal dari bahasa inggris, character yang berarti watak, sifat, dan karakter. Dalam bahasa Indonesia, watak diartikan sebagai sifat batin manusiayang memengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya, dan berarti pula tabi’at, dan budi pekerti. Dengan demikian pendidikan karakter adalah upaya memengaruhi segenap pikiran dan sifat batin peserta didik dalam rangka membentuk watak, budi pekerti, dan kepribadiannya. Demikian bahwa penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dalam diri manusia menurut Al-Quran dan As-Sunnah adalah sebuah proses perjuangan atau jihad yang berat, yakni jihad al-nafs, perang mengendalikan dan mengalahkan hawa nafsu, bujukan syetan dan karakter buruk, sehingga tampil sebagai pemenang yang senantiasa mempraktikkan nilai-nilai yang baik,
sebagaimana tersebut di atas guna menghasilakn tujuan pendidikan karakter sebagaimana tersebut di atas, pendidikan karakter harus harus melibatkan pendidikan moral, pendidikan nilai, dan pendidikan agama.
a.       Pendidikan moral
berfungsi sebagai dasar bagi sebuah pendidikan karakter, yaitu berupa keputusan  moral individual, yakni apakah dia akan menjadi manusia yang baik atau yang buruk, srta berkaitan dengan batin seseorang, berupa keputusan, pilihan bebas, dan tanggung jawab. Denagn demikian orang yang berkarakter adalah orang yang dapat melakukan pilihan dan keputusan secara bebas dan bertanggung jawab.
b.      Pendikan nilai
 berkaitan dengan nilai-nilai budi pekerti, tata karma, sopan santun dalam masyarakat dan akhlak yang berfungsi  membantu peserat didik untuk mengenal, menyadari pentingnya dan menghayati nilai-nilai yang pantas dan yang semestinya dijadikan panduan bagi sikap dan perilaku manusia, baik secara perorangan maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat.
c.       Pendidikan agama
 berfungsi sebagai landasan atau fondasi yang lebih kokoh, pemantapan paling luhur, mempersatukan dirinya dengan realitas terakhir yang paling tinggi yaitu Allah Swt, sang pencipta yang menjadi tempat mengadu, berlindung, memohon petunjuk, keutamaan, rezeki, dan sebagainya.[7]   

D.    Karakteristik Pendidikan di dalam Pesantren
Pondok pesantern sebagai lembaga pendidikan islam berbeda dengan pendidikan lainnya baik dari aspek sistem pendidkkan maupun unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem pendidikannya. Terlihat dari proses belajar-mengajarnya yang cenderung sederhana dan tradisonal, sekalipun juga terdapat pesantren yang bersifat memadukannya dengan sistem pendidikan modern. Yang mencolok dari perbedaan itu adalah perangkat-perangkat pendidikanya baik perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware) nya. Keseluruhan perangkat pendidikan itu merupakan unsur-unsur dominan dalam keberadaan pondok pesantren. Bahkan unsur-unsur dominan itu merupakan ciri-ciri (karakteristik) khusus pondok pesantren.
Dimensi kegiatan sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pesantren itu bermuara pada suatu sasaran utama yakni perubahan. Baik secara individual maupun kolektif. Oleh karena itu pondok pesantren dapat juga dikatakan sebagai agen perubahan artinya pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang mampu melakukan perubahan terhadap masyarakat.
Perubahana ini terwujud peningkatan pemahaman (persepsi) terhadap agama, ilmu dan teknologi. Juga dalam bentuk pengalaman atau praktek yang cenderung memebekali masyarakat kearah kemampuan masyarakat yang siap pakai, yang dimaksud dengan kemampuan siap pakai adalah sumber daya manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki masyarakat. Dengan demikian masyarakat cenderung mengatasi persoalanya dengan potensi sendiri.
Kekuatan yang dimiliki oleh pesantren yang mengemban tugasnya sebagai lembaga pendidikan islam terletak pada misinya yang bersikap agamis yang searah dengan kondisi masyarakat sebagai pemeluk agama. Kenyataan ini membawa dampak cepatnya terjadi perubahan pada masyarakat. Sikap pesantren yang demikian telah bergerak jauh melampaui lembaga pendidikan lainnya. Bahkan pesantren telah nyata melaksanakan cita-cita pendidikan nasional tentang pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Dapat juga dikatakan pesantren sebagai lembaga pengembangan masyarakat muslim sebagaimana prediksi Sudjatmoko yang menganggap lembaga pendidikan agama sebagai suatu kekuatan yang mampu berfungsi dalam perkembangan social yang akan datang ke Indonesia. Menurut penulis persepsi Sudjatmoko tepat jika lembaga pendidkan agama ini yang dimaksud adalah pondok pesantren.[8]
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia. Ia memiliki hubungan fungsional simbiotik dengan ajaran islam, yaitu, dari satu sisi keberadaan pesantren diwarnai oleh corak dan dinamika ajaran islam yang dianut oleh para pendiri dan kiai pesantren yang mengasuhnya, sedangkan pada sisi lain, ia menjadi jembatan utama (main bridger) bagi proses internalisasi dan transmisi ajaran islam kepada masyarakat. Melalui pesantrenlah agam islam menjdai membumi dan mewarnai seluruh aspek kehidupan masyarakat, sosial, keagamaan, hokum, politik, pendidikan, lingkungan, dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu pesantren juga memiliki kedekatan hubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Yakni dari satu sisi, keberadaan pesantren amat bergantung kepada masyarakat yang ikut memeberikan support bagi keberadaannya, sedangkan pada sisi lain pesantren juga harus memberikan jawaban atas masalah atau memenuhi kebutuhan intelektual, spiritual, sosial, kultural, politik, bahkan medis dan lainnya yang dibituhkan masyarakat.
Makalah sederhana ini selain akan menjelaskan tradisi yang dimiliki pesantren, juga akan menjelaskan peran dan fungsi yang dapat dimainkan oleh dunia pesantren, serta perubahan dan dinamika yang terdapat dlam dunia pesantren dalam rangka menjawab tantangan dunia arus globalisasi. Informasi ini menjadi penting selain sebagai bahan masukan bagi lembaga pendidikan yang berbasis pesantren, juga sebagai bahan informasi bagi masyarakat. Mengingat sesungguhnya pesantren sudah berusia lebih dari lima abad, namun belum banyak masyarakat yang mengetahui keadaan secar utuh, dan masih ada pula yang memiliki kesan miring terhadap dunia pesantren, serta melihatnya dengan statis.
a.             Tradisi Pesantren
Kata tradisi berasal dari bahasa inggris, tradition yang berarti tradisi. Dalam kamus bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan ajaran dan sebagainya) yang turun temurun dari nenek moyang hingga anak cucu. Kata adat tersebut berasal dari bahasa Arab, jama’nya ‘awaid yang artinya habit (kebiasaan), selanjutnya menjadi kata ‘adatan, yang berarti: usually (yang sudah dibiasakan) customarily (ada kebiasaan), ordinarily (yang dibiasakan), dan habitually (dilakukan karena kebiasaan).
Pengertian tradisi ini selanjutnya dekat dengan pengertian culture, yakni kesopanan dan kebudayaan itu sendiri berarti nilai-nilai (valus) yang diseleksi dan ditetapkan sebagai unggul dan baik, yang selanjutnya dipahami, dihayati, di amalkan serta digunakan sebagai logical framework (sistem kerja akal) atau alat dalam kehidupan sehari-hari,[9] nilai-nilai tersebut seperti kejujuran, kedisiplinan, kemandirian, kerja sama, gotong royong, kekeluargaan, saling menghormati, menghargai perbedaan pendapat, menepati janji, selain itu kata kebudayaan juga dekat dengan kata tamaddun atau beradapan yang pada hakikatnya adalah realisasi atau implementasi dari nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan kata pesantren berasal dari kata pesantian, yang berarti asrama dan tempat murid-murid belajar mengaji. Dalam pengertian yang umum digunakan, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia yang didamnya terdapat: pondokkan atau tempat tinggal, kiai, santri, masjid dan kitab kuning.[10] Kehadiran kiai sebagai unsur pertama pesantren tidak hanya mengandung ahli agama, tapi juga memliki muatan antropologis. Di masa penjajahan belanda masa itu, bahwa posisi kiai memiliki aspek politis karena pesantren dianggap pusat kemerdekaan yang oleh belanda dianggap sebagai pusat pemberontakan. Para kiai tersebut secara antripologis adalah mereka yang ahli agama, tinggal ditemapt para santrinya, jauh dari kepentingan dan pendekatan politik, menjadi teladan, kesederhanaan, kesholehah hidup. Kiai adalah temapt bertanya bagi masyarakat bukan santri, untuk meminta nasehat sejak dari memberi nama anak yang baru lahir sampai pada pembagian waris serta berbagai problemasosial sosial lainnya.[11]
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang dimaksud tradisi pesantren adalah segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati, dan dipraktekkan dipesantren yaitu berupa nilai-nilai dan implemetasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan beradapan yang mebedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga pendidikan lainnya.
 Tradisi pesantren juga berarti nilai-nilai yang dipahami, dihayati, diamalkan dan melekat pada seluruh komponen pesantren sebagaimana tersebut di atas. Dalam kaitan ini, hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa tradisi yang ada di pesabtren tersebut antara lain:
a. Tradisi rihlah ilmiah
b.Meneliti
c. Menulis kitab
d.                  Membaca kitab kuning
e. Praktik thoriqot
f. Menulis buku
g.Penghafal
h.Berpolitik
dan tradisi yang bersifat sisoal keagamaan lainnya.
1.Tradisi Rihlah Ilmiah
                  Rihlah ilmiah secara harfiah, berarti perjalanan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam artian yang biasanya dipahami, rihlah ilmiah adalah melakukan perjalanan, dari suatu daerah ke daerah lain, atau dari satu negar ke nagara lain, baik dekat maupun jauh, dan terkadang bermukim dalam waktu yang cukup lama bahwa tidak kembali ke daerah asal, dengan tujuan utama untuk mencari, menimba, memperdalam, dan mengembangan ilmu pengetahuan, bahkan mengajarkannya dan menuliskannya dalam berbagai kitab.
                  Sejarah mencatat, tentang adanya ulama’ terkemuka asal Indonesia yang melakukan rihlah ilmiah dari Indonesia ke mekkah, mesir dan berbagai Negara didunia dalam waktu yang cukup lama yang digunakan bukan hanya untuk menimba ilmu, melainkan juga mengajarkan, dan mengembangkannya dalam bentuk buku. Mereka itu antara lain, Nawawi al-Bantani (1813-1897), yang rihlah ilmiah ke mekkah dalam usia 15 tahun, beliau wafat disana, serta kebeberapa Negara lainnya Syuria dan Mesir,[12]
2. Tradisi menulis buku
                     Menulis buku merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh para kiai pesantren. Beberapa ulama’ pimpinan pondok pesantren yang namanya tersebut diatas, adalah termasuk para penulis yang produktif. Nawawi al-Bantani misalnya menulis lebih dari seratus judl kitab yang terbagi kedalam Sembilan bidang ilmu agama yaitu tafsir, fiqih, usul al-din, ilmu tauhid (teologi), tasawuf (mistisisme), kehidupan nabi, tata bahasa arab, hadits dan akhlak (ajaran moral islam).
3.Tradisi meneliti
                  Dilihat dari segi sumbernya terdapat penelitian bayani, burhani., ijbari, jadali, dan irfani.
   a. Penelitian bayani adalah penelitian yang berkaitan dengan kandungan al-Quran as-Sunnah dengan bekal pengusaan bahasa arab dan berbagai cabangnya yang kuat, ilmu tafsir dan berbagai cabangnya, ilmu hadits, dan berbagai cabangnya, ilmu ushul al-fiqh, ilmu qowaid al-fiqiyyah dan ilmu-ilmu bantu lainnya.
a.  Penelitian burhani adalah penelitian yang berkaitan dengan fenomena sosial dnegan bekal metodelogi penelitian sosial, bahasa dan ilmu bantu lainnya.
b. Ilmu ijbari berkaitan dengan fenomena alam fisik, jagad raya, dengan mengguanakan experiment atau percobaab di laboratorium.
c.  Penelitian jadali berkaitan dengan upaya memahami berbagai makna dan hakikat, segala sesuatu dengan jalan menggunakan akal secara spekulatif, sistematik, radikal, universal, dan mendalam.
d.       Penelitian irfani adalah penelitian yang berkaitan dengan upaya mendapatkn ilmu secara langsung dengan menggunakan kekuatan intuisi, yang dibersihkan dengan cara mengendalikan hawa nafsu, menjalankan ibadah  ritual, dzikir, kontemplasi, wirid, dan sebagainya.
4. Tradisi menbaca kitab kuning[13]
5. Tradisi berbahasa arab
                  Seiring dengan adanya tradisi, penulisan kitab-kitab oleh para kiai sebagaimana tersebut diatas dengan menggunakan bahasa arab, maka dengan sendirinya telah menumbuhkan tradisi berbahasa arab yang kuat dikalangan pesantren. Hal ini terjadi, karena para ulama’ yang bermukim di mekkah meliki kemampuan tradisi berbahasa arab yang kuat sebagai akibat dari kehidupan mereka sehari-hari dalam masyarakat timur tengah, serta kitab-kitab yang mereka pelajari menggunakan bahasa arab.
                  Penggunaan bahasa arab ini juga terjadi pada para kiaiyang berada di Indonesia, mereka mengetahui bahwa al-Quran dan as-Sunnah ditulis dalam bahasa arab. Demikian pula bahasa yang digunakan ketika shalat berdo’a juga bahasa arab.
6. Tradisi mengamalkan toriqod
                  Dari berbagai sumber yang ada masyarakat salafiyyah yang dibangun oleh dunia pesantren mewujudkan kesatuan tak terpisahkan antara taqwa dan akhlak atau anatara religiousitas dan etika. Dalam kaitan ini tasawuf tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan agam. Bahkan, jika tasawuf itu adalah disiplin yang lebih berurusan dengan masalah-masalah inti atau batin, maka ia juga berarti merupakan inti keagamaan yang bersifat esoteric.[14]
7. Tradisi menghafal
                  Menghafal adalah salah satu metode atau cara untuk menguasai mata pelajaran, caranya dimulai dengan belajar mata teks kitab, memberi arti kepada setiap teks, memahaminya dengan benar, bahkan menghafalkannya diluar kepala
8. Tradisi berpolitik
9. Tradisi lainnya
E.     Perkembangan Pendidikan Islam di dalam Pesantren
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perkembangan zaman, terutama sekali adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti sebagi pondok pesantren yang telah hilang kekhasannya. Dalam hal ini pondok pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan islam yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk masyarakat.
Beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, meliputi:
1.                  Pondok pesantren tradisonal
Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya, dengan semat-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama’ abad ke 15 dengan menggunakan bahasa arab. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kiai pengasuh pondoknya. Santrinya ada menetap di dalam pondok dan ada yang tidak menetap di pondok.[15]



2.                  Pondok pesantren modern
Pondok pesantren ini merupakan mengembangan tipe pesantren, karena orientasi belajarnya cenderung mengambil seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional.
3.                  Pondok pesantren komprehensif
Di sebut komprehensif karena merupakan sistem pendidikan dan pengajaran poenggabungan antara yang tradisional dan modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan, dan wetonan.[16]
Pondok pesantren bukan hanya terbatas dengan kegiatan-kegiatan keagamaan melainkan mengembangan diri menjadi suatu lembaga pengembangan masyarakat. Oleh karena itu pondok pesantren sejak semula merupakan ajang mempersiapkan kader masa depan dengan perangkat-perangkat sebagai berikut:
a.                   Masjid
Pada hakikatnya merupakan sentral kegiatan muslimin, baik dari dimensi ukhrowi, maupun duniawi dalam ajaran islam, karean pengertian yang lebih luas dan maknawi masjid adanya memberikan indikasi sebagai kemampuan seorang abdi dalam mengabdi kepada Allah yang disimbolkan dengan adanya masjid sebagai temapat sujud. Atas dasar pemikiran itu dapat dipahami bahwa masjid tidak hanya terbatas pada pandangan materialistic, melainkan pandangan idealistic immaterialsitik termuat di dalamnya. Pemikiran materialistic mengarah kepada keberdaan masjid sebagai suatu bangunan yang dapat di tangkap oleh mata.
Dalam hal ini secar sederhana, masjid adalah tempat sujud. Sujud adalah symbol kepatuhan seorang hamba kepada khaliqnya, oleh karena itu seluruh kegiatan yang mengambil di masjid tentu memiliki nilai ibadah yang tinggi. Artinya proses kegiatan itu hanya mengharapkan keridhoan Allah yang bersifat ilahiyyah, berkaitan dengan pahala dan balasan dari Allah.
b.                  Pondok
Pondok dalam pesantren pada dasarnya merupakan dua kata yang sering menyebutnya tidak dipisahkan menjadi pondok pesantren, yang berarti keberadaan pondok dalam pesantren merupakan wadah pembinaan dan pendidikan serta pengajaran ilmu pengetahuan.


c.                   Kiai
Ciri yang paling esensial, bagi suatu pesantren adalah adanya seorang kiai. Kiai pada hakikatnya adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai ilmu di bidang agama. Dalam hal ini agama islam, keberdaan kiai di dalam pesantren sangat sentral sekali, jadi kiai di dalam dunia pesantren sebagai penggerak dalam mengemban dan mengembangan pesantren sesuai dengan pola yang dikehendaki.
d.                  Santri
Istilah santri hanya ada dalam pesantren sebagai pengejawan tahan, adanya peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oelh seoarng kiai yang memimpin sebuah pesantren, oleh karena itu santri pada dasarnya memilki keterkaitan erat dengan keberadaan kiai dan pesantren.[17]
F.      Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren
Sistem ini erat kaitanya dengan tepologi pondok pesantren sebagaimana yang ditunagkan dalam ciri-ciri pondok pesantren sebagaimana yang diuatarakan terlebih dahulu, maka ada beberapa sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren.
1.      Sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat tardisional
Sistme tradisional adalah berangkat dari pola pengajaran yang sangat sederhana dan sejak semula timbulnya, yakni pola pengajaran sorogan, bandongan dan wetonan dalam mengkaji kitab-kitab agama, yang ditulis oleh para ulama’.




a.       Sorogan
Pola sorogan dilakukan dengan jalan santri yang biasnya pandai, menyorongkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihapapan kiai itu.

b.      Wetonan
Sistem dengan jalan wetonan dilaksanakan dengan jalan kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai. Dalam sistem pengajaran yang seperti ini tiadak ada absensi. Jadi, santri boleh datang boleh juga tidak.
c.       Bandongan
Sistem bandongan, seorang santri tidak harus menunjukkan bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang ia hadapi. Para kiai biasanya membaca dan menerjemahkan kata-kata yang mudah.
2.      Sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat modern
Di dalam perkembangannya pondok pesantren tidaklah semaya-mata tumbuh atas pola lama yang bersifat tradisional dengan ketiga pola pengajaran di atas, melainkan dilakukan suatu inovasi dalam pengambangan suatu sistem.
Ada dua sistem yang diterapkan:
a.       Sistem klasikal
b.      Sistem kursus-kursus
c.       Sistem pelatihan



IV.             KESIMPULAN
Secara harfiah, karakter berasal dari bahasa inggris character yang berarti watak, karakter, atau sifat. Dalam bahasa Indonesia, watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatanya, dan berarti pula tabi’at, dan budi pekerti. Selanjutnya, jika ada ungkapan pendidikan karakter, maka yang dimaksud adalah upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian.
Sedangkan yang dimaksud dengan sifat adalah rupa dan keadaan yang tampak pada sesuatu benda. Selanjutnya kata pendidikan secara umum adalah upaya memengaruhi orang lain agar berubah pola pikir, ucapan, perbuatan, sifat dan wataknya sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, antara kata pendidikan dengan kata karakter menjadi amat dekat substansi.
pendidikan karakter jika dipahami secara demikian tidak akan kokoh dan tidak akan stabil, sebab mereka hanya menghargai sebagian dari kekayaan individu. Mereka tidak sungguh-sungguh ingin menghargai individu itu apa adanya, maka pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekadar hubungan horizontal antara individu dan individu lain, tapi antara individu yang memiliki hubungan vertical dengan Allah yang dipercaya dan diimani. Integrasi antara pendidikan agama dan pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan kita merupakan sebuah keharusan jika kita ingin tetap setia pada pancasila.
Tujuan pendidikan karakter antara lain:
a.       Sebagai pendidikan nilai
b.      Sebagai pendidikan moral
c.       Sebagai pendidikan agama
Karakteristik pendidikan karakter dilihat dari dimensi kegiatan sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pesantren itu bermuara pada suatu sasaran utama yakni perubahan. Baik secara individual maupun kolektif. Oleh karena itu pondok pesantren dapat juga dikatakan sebagai agen perubahan artinya pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang mampu melakukan perubahan terhadap masyarakat.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya susun, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran dari pembaca kami butuhkan demi kebaikan makalah ini dan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.


 
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta:    LP3ES.
Mastuhu, 1994,  Dinamika Sistem pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS.
Marwan Saridjo Marwan dkk, 1980, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti.
 Choles Nur Madjid, 1997, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina.
Yasmadi, 2005, Modernisasi Pesantren, Ciputat: Ciputat Press.
Mas’ud Abdurrahman, 2004, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS.
Zakaria Rusydy, 1982,  Indonesia Islamic Education, A Social Historical and Political Perspective, Jakarta: LP3ES.
Hidayat Komaruddin, 2009, Kiai dan Dunia Pesantren, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nata Abuddin,2010, Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Majid Abdul, 2011, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Koesoema A Doni, 2007, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo.
Sudjatmoko, 1988, Etika Pembebasan Cetakan Ketiga, Jakarta: LP3ES.
Husain Ibrahim al-Habsyi,dkk, 2003, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Pustaka al-Zahra.
M. Echols John dan Hasan Shadily, 1979,  Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia.























[1]  John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 107
[2] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 1149
[3] Abbudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 4-7
[4] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2007) hlm. 4
[5] Ibrahim Husain al-Habsyi,dkk, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, (Jakarta: Pustaka al-Zahra, 2003) hlm. 263
[6] Abdul Majid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011) hlm. 61-64
[7] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2007) hlm. 71-80
[8]  Sudjatmoko, Etika Pembebasan Cetakan Ketiga, (Jakarta: LP3ES, 1988) hlm. 268
[9] Abuddin Nata, Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) hlm. 170
[10]  Rusydy Zakaria, Indonesia Islamic Education, A Social Historical and Political Perspective, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 313-314
[11]  Komaruddin Hidayat, Kiai dan Dunia Pesantren, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 3
[12]  Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2004) hlm. 221
[13]  Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Ciputat: Ciputat Press,2005), hlm. 90
[14]  Nurcholesh Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina:1997), hlm. 140
[15]  Mastuhu, Dinamika Sistem pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 14
[16]  Marwan Saridjo dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), hlm 15
[17]  Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 44-45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar