MEROMBAK PARADIGMA NILAI PENDIDIKAN
KARAKTER BERBASIS PESANTREN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Karya Tulis Ilmiah
Dosen Pengampu : Syamsul Ma’arif, M.Ag
Disusun Oleh :
Alina Aunun Faiqoh (123911021)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Pendidikan
pada hakikatnya merupakan pencerminan kondisi negara dan kekuatan
social-politik yang tengah berkuasa, pendidikan dengan sendirinnya merupakan
refleski dari orde penguasa yang ada. Masalah pendidikan akan menjadi masalah
politik apabila pemerintah ikut terlibat di dalamnya, di Negara otoriter yang
menganut paham pemerintahan totalitarianism, pemerintah akan membatasi
kebebasan individu dengan mengeluarkan kebijakan pendidikan yang uniform bagi semua anak didik bagi
Negara semacam ini, pendidikan adalah kekuatan politik untuk mendominasi
rakyat, pemerintah secara mutlak mengatur pendidikan sebab tujuan pendidikan
adalah membuat rakyat menjadi alat Negara, sebagai respon terhadap pandangan
ini muncul paham pemerintahan yang menerapkan konsep negara demokrasi yang
mengehendaki adanya demokratisasi dalam pendidikan.
Demokrasi
dalam bidang pendidikan merupakan suatu keharusan, agar dapat melahirkan
manusia-manusia yang berwatak demokrasi. Reformasi pendidikan melaluidemokrasi
pendidikan, menurut Zamroni dapat dilakukan dalam tiga aspek pendidikan yaitu,
regulatori, profesionalitas, dan manajemen. Aspek regulatori dititikberatkan
pada reformasi kurikulum yang berkaitan dengan perumusan tujuan pendidikan,
penerapan kurikulum berbasis kompetensi (competency-based
curriculum), pergeseran paradigma kerja guru dari responsibility kea rah accountability
dan pelaksanaan evaluasi dengan esei dan portofolio. Aspek profesionalitas ditunjukkan
untuk mengembalikan hak-hak dan wewenang kepada guru dalam melaksanakan tugas
kependidikannya. Aspek ini dapat ditempuh melalui pengembangan kesadaran
hak-hak politik guru dan pemberian kesempatan kepada guru untuk mengembangan
dirinya sedangkan aspek manajemen pendidikan ditunjukan untuk mengubah
pusat-pusat pengambilan dan kendali pendidikan. Reformasi aspek manajemen ini
dapat dilakukan dengan dua cara, pertama,
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada lembaga pendidikan untuk
mengambil keputusan berkaitan dengan pendidikan. Bentuk kebijakan ini adalah
menumbuhkan manajemen berbasis sekolah (school-based
management). Kedua, memberikan
kesempatan yang luas kepada warga masyarakat untuk berpastisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan. Kebijakan ini dapat diwujudkan dalam bentuk
pendidikan berbasis masyarakat (community-based
education).
Tulisan ini dengan telaah filosofis bermaksud mengungkap ide-ide
dan konsep-konsep dasar yang terkandung dalam pendidikan berbasis masyarakat.
Apa dan bagaimana pendidikan berbasis masyarakat itu? Mengapa ia perlu
dilakukan dalam sebuah penyelenggaraan pendidikan? Masalah pendidikan berbasis
masyarakat sesungguhnya merupakan wacana baru yang muncul dalam dunia
pendidikan, terutama bagi masyarakat Indonesia. Ia muncul berkaitan dengan
reformasi pendidikan yang menghendaki adanya pergeseran paradigma pendidikan
dari sentralistik ke desentralistik, bergeser dari praktik pendidikan yang
otoriter ke praktik pendidikan demokratis yang membebaskan, serta dari konsep pendidikan
yang berorientasi pemerintah (state oriented) ke konsep pendidikan yang
berorientasi masyarakat (community oriented).
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
pengertian pendidikan karakter?
B. Bagaimana
peranan pendidikan agama dalam pembentukan karakter?
C. Apa
tujuan pendidikan karakter?
D. Bagaimana
karakteristik pendidikan di dalam pesantren?
E. Bagaimana
perkembangan pendidikan islam di dalam pesantren?
F. Bagaimana
sistem pendidikan di dalam pesantren?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Karakter
Secara
harfiah, karakter berasal dari bahasa inggris character yang berarti watak, karakter, atau sifat.[1]
Dalam bahasa Indonesia, watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang
mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatanya, dan berarti pula tabi’at, dan
budi pekerti. Selanjutnya, jika ada ungkapan pendidikan karakter, maka yang
dimaksud adalah upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin
tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai
kepribadian.[2]
Sedangkan yang dimaksud dengan sifat adalah rupa dan keadaan yang tampak pada
sesuatu benda. Selanjutnya kata pendidikan secara umum adalah upaya memengaruhi
orang lain agar berubah pola pikir, ucapan, perbuatan, sifat dan wataknya
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, antara kata pendidikan
dengan kata karakter menjadi amat dekat substansi.
Dalam
bahasa Arab karakter sering disebut dengan istilah akhlak yang Ibn Miskawaih
diartikan sebagai: hal linnafs da’iyah
lahaa ila af’aliha min ghair fikrin wa laa ruwiyatin. Artinya sifat atau
keadaan yang tertanam dalam jiwa yang paling dalam yang selanjutnya lahir
dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi. Dengan demikian
sebuah perbuatan akhlaki setidaknya memiliki lima ciri, yaitu:
(1) perbuatan yang
sudah tertanam kuat dan mendarah daging dalam jiwa.
(2) perbuatan yang
dilakukan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran lagi, sebagai akibat dari
keadaannya yang sudah mendarah daging.
(3) perbuatan yang
muncul atas pilihan bebas dan bukan paksaan.
(4) perbuatan yang
dilakukan dengan sesungguhnya, bukan rekayasa.
(5) perbuatan yang
dilakukan dengan ikhlas karena Allah Swt semata.[3]
Karakter
merupakan struktur antropologis manusia, di sanalah manusia menghayati
kebebasannya dan menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya.
Struktur antropologi ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah
tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses.
Dinamika ini menjadi semacam dialektika
terus-menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasanya dan mengatasi
keterbatasannya. Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologi
individu yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratnya, melainkan
juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral dalam mengatasi
determinasi alam dalam dirinya, demi proses penyempurnaan dirinya secara
terus-menerus.
Dengan
demikian, pendidikan karakter bukan hanya berurusan dengan penanaman nilai pada
diri siswa atau peserta didik, melainkan merupakan sebuah usaha bersama untuk
menciptakan sebuah lingkungan pendidikan tempat setiap individu dapat
menghayati kebebasannya sebagai sebuah persyaratan bagi kehidupan moral dewasa.[4]
Dengan
demikian, pendidikan karakter bukan hanya sekadar memberikan pengertian atau
definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya
mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia sesuai dengan
nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji. Melalui pendidikan karakter ini
diharapkan dapat dilahirkan manusia yang memiliki kebebasan menentukan
pilihannya, tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab, baik terhadap Tuhan,
manusia, masyarakat, maupun dirinya sendiri.
Pengertian
pendidikan karakter yang demikian itu jika dihubungkan dengan Al-Quran dan
Al-Sunnah tampak memiliki berbagai kesamaan. Di dalam Al-Quran kata-kata
karakter dalam arti sifat, tabi’in dan sikap batin sebagaimana tersebut di atas
mirip dengan pengertian akhlaq yang jamanya khuluq,
Ketika
menjelaskan tentang karakter, Al-Quran memperkenalkan sejumlah karakter yang
buruk yang apabila orang mempraktikannya akan mendapatkan keberuntungan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Quran misalnya memperkenalkan karakter fir’aun
yang sombong, melanggar larangan tuhan, melampaui batas, berbuat zalim,
durhaka, dictator, dan otoriter, bahkan mengaku dirinya sebagai tuhan; dan
memperkenalkan pula nabi Muhammad Saw yang keras dan tidak mau kompromi
terhadap kemungkaran, kasih saying terhadap sesame, senantiasa ruku’, sujud,
dan senantiasa mengharapkan keridho’an Allah.
Pendidikan
karakter menurut Al-Quran lebih ditekankan pada membiasakan agar orang
mempraktikkan dan mengamalkan nilai-nilai yang baik dan menjauhi nilai-nilai
yang buruk dan ditunjukan agar manusia mengetahui tentang cara hidup, atau
bagaimana seharusnya hidup, karakter (akhlak) menjawab pertanyaan manusia
tentang manakah hidup yang baik bagi manusia, dan bagaimanakah seharunya
berbuat, agar hidup meiliki nilai, kesucian, kemuliaan.[5]
B. Peranan Pendidikan Agama dalam
Pembentukan Karakter
Perdebatan yang tidak akan pernah
berhenti di kalangan kita tentang seputar peranan pendidikan agama bagi
pembentukan karakter. Negara kita berlandaskan pancasila dimana sila pertama
adalah menyatakan bahwa negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa.
Intinya adalah Negara kita bukan atheis tapi Negara yang religious yang
menjadikan sila pertama dari pancasila tersebut sebagai inti dari keempat sila
yang lainnya.
Mantan presiden RI pertama Soekarno
berulang-ulang menegaskan: “Agama adalah unsur mutlak dalam national and
character building”. Hal ini diperkuat dengan pendapat Sumahamijaya yang
mengatakan bahwa karakter harus mempunyai landasan yang kokoh dan jelas. Tanpa
landasan yang jelas, karakter kemandirian tidak punya arah, mengambang,
keropos, sehingga tidak berarti apa-apa. Oleh karenannya, landasan dari
pendidikan karakter itu tidak lain haruslah agama.
Salah satu pemikir pendidik karakter
kontemporer, Thomas Lickona misalnya, memiliki pandangan bahwa pendidikan
karakter dan pendidikan agama semestinya dipisahkan dan tidak dicampuradukkan.
Bagi dia, nilai yang berkaitan dengan pendidikan karakter merupakan nilai-nilai
dasar yang harus dihayati jika sebuah masyarakat mau hidup dan bekerja secara
damai. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, perhormatan terhadap yang lain,
tanggung jawab pribadi, perasaan senasib sependeritaan (public copassion), pemecah konflik secara damai, merupakan
nilai-nilai yang semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter.
Berbeda lagi dengan pendapat Koesuma,
dalam konteks kehidupan bermasyarakat di Indonesia, pemisahan teoritis antara
pendidikan agama dan pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan patutlah
dipertanyakan kesahihannya. Sebab, jika pemisahan itu terjadi dasar kehidupan
bernegara kita akan timpang. Palig tidak, ada dua alas an Lickona yang kurang
tepat.
Pertama,
Lickona mengatakan bahwa kehidupan religious seseorang merupakan urusan antara
individu dan Tuhannya sebuah pemahaman tentang kehidupan beragama yang kurang
tepat, karena keberagaman dapat menjadi fondasi kokoh bagi pelaksanaan
pendidikan karakter, terutama agama akan menjadi dasar kokoh tak tergoyahkan
bagi pelaksanaan nilai-nilai moral ketika nilai-nilai moral tersebut diyakini
berasal dari perintah dari Tuhan.
Kehidupan rohani yang matang akan
semakin membuat manusia semakin manusiawi, dan membuatnya semakin dapat
melengkapi fitrahnya sebagai manusia, yaitu manusia yang senantiasa ada bersama
orang lain. Jika pendidikan agama itu malah menjadi penghambat integrasi bagi
pelaksanaan nilai-nilai moral, maka yang keliru bukanlah ajaran agamanya,
melainkan cara menafsirkan ajaran agama itu dalam tataran praktis.
Kedua,
mengatakan
bahwa pendidikan karakter merupakan relasi antar individu di dalam masyarakat
akan menciptakan corak relasi antarpribadi yang semu. Sebab, individu yang
dihormati itu ternyata tidak termasuk keyakinan agamanya. Dan menghormati individu sesungguhnya juga merupakan kesediaan
dan keterbukaan hati untuk menghormati individu lain jika ia tidak dapat
menghargai keyakinan dan kepercayaan iman orang lain.
Oleh karena itu, pendidikan karakter
jika dipahami secara demikian tidak akan kokoh dan tidak akan stabil, sebab
mereka hanya menghargai sebagian dari kekayaan individu. Mereka tidak
sungguh-sungguh ingin menghargai individu itu apa adanya, maka pendidikan
karakter sesungguhnya bukan sekadar hubungan horizontal antara individu dan
individu lain, tapi antara individu yang memiliki hubungan vertical dengan
Allah yang dipercaya dan diimani. Integrasi antara pendidikan agama dan
pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan kita merupakan sebuah keharusan
jika kita ingin tetap setia pada pancasila.
Hal yang perlu diperhatikan bagi
integrasi antara pendidikan agama dan pendidikan karakter adalah kaitan antara
keyakinan agama dan kebersamaan hidup dalam masyarakat yang bhineka seperti
Indonesia. Nilai-nilai keagamaan tidak dapat dijadikan sebagai dasar bagi
kehidupan bersama di mana terdapat berbagai macam perbedaan keyakinan iman di
dalam masyarakat. Justru karena memiliki unsur yang lebih dalam dan fundamental
bagi pribadi, kesepakatan hidup bersma tidak dapat ditentukan oleh keyakinan
pemeluk agama tertentu dalam sebuah masyarakat. Inilah yang ada dalam benak
para pendiri bangsa ini ketika mereka melepaskan tujuan kata dalam piagam
Jakarta.
Nilai-nilai agama dan nilai demokrasi
bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan. Jika dipahami secara lebih utuh
dan integral, nilai-nilai ini dapat memberikan sumbangan yang efektif bagi
sebuah penciptaan masyarakat yang stabil dan mampu bekerja samadalam mencapai
tujuan bersama. Ini sesungguhnya yang menjadi semangat dlam pasal-pasal
pancasila oleh karena itu, pendidkan agama merupakan dukungan dasar yang tak
tergantikan bagi keutuhan pendidkan karakter, karena dalam agama terkandung
nilai-nilai luhur yang mutlak kebaikan dan kebenarannya.[6]
C.
Tujuan
Pendidikan Karakter
Menurut bahasa, karakter berasal dari bahasa
inggris, character yang berarti
watak, sifat, dan karakter. Dalam bahasa Indonesia, watak diartikan sebagai
sifat batin manusiayang memengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya, dan
berarti pula tabi’at, dan budi pekerti. Dengan demikian pendidikan karakter
adalah upaya memengaruhi segenap pikiran dan sifat batin peserta didik dalam
rangka membentuk watak, budi pekerti, dan kepribadiannya. Demikian bahwa
penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dalam diri manusia menurut Al-Quran
dan As-Sunnah adalah sebuah proses perjuangan atau jihad yang berat, yakni jihad al-nafs, perang mengendalikan dan
mengalahkan hawa nafsu, bujukan syetan dan karakter buruk, sehingga tampil
sebagai pemenang yang senantiasa mempraktikkan nilai-nilai yang baik,
sebagaimana tersebut di atas guna menghasilakn
tujuan pendidikan karakter sebagaimana tersebut di atas, pendidikan karakter
harus harus melibatkan pendidikan moral, pendidikan nilai, dan pendidikan
agama.
a. Pendidikan
moral
berfungsi
sebagai dasar bagi sebuah pendidikan karakter, yaitu berupa keputusan moral individual, yakni apakah dia akan menjadi
manusia yang baik atau yang buruk, srta berkaitan dengan batin seseorang,
berupa keputusan, pilihan bebas, dan tanggung jawab. Denagn demikian orang yang
berkarakter adalah orang yang dapat melakukan pilihan dan keputusan secara
bebas dan bertanggung jawab.
b. Pendikan
nilai
berkaitan dengan nilai-nilai budi pekerti,
tata karma, sopan santun dalam masyarakat dan akhlak yang berfungsi membantu peserat didik untuk mengenal,
menyadari pentingnya dan menghayati nilai-nilai yang pantas dan yang semestinya
dijadikan panduan bagi sikap dan perilaku manusia, baik secara perorangan
maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat.
c. Pendidikan
agama
berfungsi sebagai landasan atau fondasi yang
lebih kokoh, pemantapan paling luhur, mempersatukan dirinya dengan realitas
terakhir yang paling tinggi yaitu Allah Swt, sang pencipta yang menjadi tempat
mengadu, berlindung, memohon petunjuk, keutamaan, rezeki, dan sebagainya.[7]
D.
Karakteristik
Pendidikan di dalam Pesantren
Pondok pesantern sebagai lembaga pendidikan islam
berbeda dengan pendidikan lainnya baik dari aspek sistem pendidkkan maupun
unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem pendidikannya. Terlihat
dari proses belajar-mengajarnya yang cenderung sederhana dan tradisonal,
sekalipun juga terdapat pesantren yang bersifat memadukannya dengan sistem
pendidikan modern. Yang mencolok dari perbedaan itu adalah perangkat-perangkat
pendidikanya baik perangkat lunak (software)
maupun perangkat keras (hardware)
nya. Keseluruhan perangkat pendidikan itu merupakan unsur-unsur dominan dalam
keberadaan pondok pesantren. Bahkan unsur-unsur dominan itu merupakan ciri-ciri
(karakteristik) khusus pondok pesantren.
Dimensi kegiatan sistem pendidikan yang dilaksanakan
oleh pesantren itu bermuara pada suatu sasaran utama yakni perubahan. Baik
secara individual maupun kolektif. Oleh karena itu pondok pesantren dapat juga
dikatakan sebagai agen perubahan artinya pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan agama yang mampu melakukan perubahan terhadap masyarakat.
Perubahana ini terwujud peningkatan pemahaman
(persepsi) terhadap agama, ilmu dan teknologi. Juga dalam bentuk pengalaman
atau praktek yang cenderung memebekali masyarakat kearah kemampuan masyarakat
yang siap pakai, yang dimaksud dengan kemampuan siap pakai adalah sumber daya
manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki masyarakat. Dengan
demikian masyarakat cenderung mengatasi persoalanya dengan potensi sendiri.
Kekuatan yang dimiliki oleh pesantren yang mengemban
tugasnya sebagai lembaga pendidikan islam terletak pada misinya yang bersikap
agamis yang searah dengan kondisi masyarakat sebagai pemeluk agama. Kenyataan
ini membawa dampak cepatnya terjadi perubahan pada masyarakat. Sikap pesantren
yang demikian telah bergerak jauh melampaui lembaga pendidikan lainnya. Bahkan
pesantren telah nyata melaksanakan cita-cita pendidikan nasional tentang
pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Dapat juga dikatakan
pesantren sebagai lembaga pengembangan masyarakat muslim sebagaimana prediksi
Sudjatmoko yang menganggap lembaga pendidikan agama sebagai suatu kekuatan yang
mampu berfungsi dalam perkembangan social yang akan datang ke Indonesia.
Menurut penulis persepsi Sudjatmoko tepat jika lembaga pendidkan agama ini yang
dimaksud adalah pondok pesantren.[8]
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan
islam tertua di Indonesia. Ia memiliki hubungan fungsional simbiotik dengan
ajaran islam, yaitu, dari satu sisi keberadaan pesantren diwarnai oleh corak
dan dinamika ajaran islam yang dianut oleh para pendiri dan kiai pesantren yang
mengasuhnya, sedangkan pada sisi lain, ia menjadi jembatan utama (main bridger) bagi proses internalisasi
dan transmisi ajaran islam kepada masyarakat. Melalui pesantrenlah agam islam
menjdai membumi dan mewarnai seluruh aspek kehidupan masyarakat, sosial,
keagamaan, hokum, politik, pendidikan, lingkungan, dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu pesantren juga memiliki kedekatan
hubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Yakni dari satu sisi, keberadaan
pesantren amat bergantung kepada masyarakat yang ikut memeberikan support bagi
keberadaannya, sedangkan pada sisi lain pesantren juga harus memberikan jawaban
atas masalah atau memenuhi kebutuhan intelektual, spiritual, sosial, kultural,
politik, bahkan medis dan lainnya yang dibituhkan masyarakat.
Makalah sederhana ini selain akan menjelaskan
tradisi yang dimiliki pesantren, juga akan menjelaskan peran dan fungsi yang
dapat dimainkan oleh dunia pesantren, serta perubahan dan dinamika yang
terdapat dlam dunia pesantren dalam rangka menjawab tantangan dunia arus
globalisasi. Informasi ini menjadi penting selain sebagai bahan masukan bagi
lembaga pendidikan yang berbasis pesantren, juga sebagai bahan informasi bagi
masyarakat. Mengingat sesungguhnya pesantren sudah berusia lebih dari lima
abad, namun belum banyak masyarakat yang mengetahui keadaan secar utuh, dan masih
ada pula yang memiliki kesan miring terhadap dunia pesantren, serta melihatnya
dengan statis.
a.
Tradisi Pesantren
Kata
tradisi berasal dari bahasa inggris,
tradition yang berarti tradisi. Dalam kamus bahasa Indonesia, tradisi
diartikan sebagai segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan ajaran
dan sebagainya) yang turun temurun dari nenek moyang hingga anak cucu. Kata
adat tersebut berasal dari bahasa Arab, jama’nya ‘awaid yang artinya habit
(kebiasaan), selanjutnya menjadi kata ‘adatan, yang berarti: usually (yang sudah dibiasakan)
customarily (ada kebiasaan), ordinarily (yang dibiasakan), dan habitually
(dilakukan karena kebiasaan).
Pengertian
tradisi ini selanjutnya dekat dengan pengertian culture, yakni kesopanan dan
kebudayaan itu sendiri berarti nilai-nilai (valus) yang diseleksi dan
ditetapkan sebagai unggul dan baik, yang selanjutnya dipahami, dihayati, di
amalkan serta digunakan sebagai logical
framework (sistem kerja akal) atau alat dalam kehidupan sehari-hari,[9]
nilai-nilai tersebut seperti kejujuran, kedisiplinan, kemandirian, kerja sama,
gotong royong, kekeluargaan, saling menghormati, menghargai perbedaan pendapat,
menepati janji, selain itu kata kebudayaan juga dekat dengan kata tamaddun atau
beradapan yang pada hakikatnya adalah realisasi atau implementasi dari
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan kata
pesantren berasal dari kata pesantian, yang berarti asrama dan tempat
murid-murid belajar mengaji. Dalam pengertian yang umum digunakan, pesantren
adalah salah satu lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia yang didamnya
terdapat: pondokkan atau tempat tinggal, kiai, santri, masjid dan kitab kuning.[10]
Kehadiran kiai sebagai unsur pertama pesantren tidak hanya mengandung ahli
agama, tapi juga memliki muatan antropologis. Di masa penjajahan belanda masa
itu, bahwa posisi kiai memiliki aspek politis karena pesantren dianggap pusat
kemerdekaan yang oleh belanda dianggap sebagai pusat pemberontakan. Para kiai
tersebut secara antripologis adalah mereka yang ahli agama, tinggal ditemapt
para santrinya, jauh dari kepentingan dan pendekatan politik, menjadi teladan,
kesederhanaan, kesholehah hidup. Kiai adalah temapt bertanya bagi masyarakat
bukan santri, untuk meminta nasehat sejak dari memberi nama anak yang baru
lahir sampai pada pembagian waris serta berbagai problemasosial sosial lainnya.[11]
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
yang dimaksud tradisi pesantren adalah segala sesuatu yang dibiasakan,
dipahami, dihayati, dan dipraktekkan dipesantren yaitu berupa nilai-nilai dan
implemetasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan
beradapan yang mebedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga
pendidikan lainnya.
Tradisi pesantren juga berarti nilai-nilai
yang dipahami, dihayati, diamalkan dan melekat pada seluruh komponen pesantren
sebagaimana tersebut di atas. Dalam kaitan ini, hasil penelitian para ahli
menunjukkan bahwa tradisi yang ada di pesabtren tersebut antara lain:
a.
Tradisi rihlah ilmiah
b.Meneliti
c.
Menulis kitab
d.
Membaca kitab kuning
e.
Praktik thoriqot
f.
Menulis buku
g.Penghafal
h.Berpolitik
dan tradisi yang bersifat sisoal
keagamaan lainnya.
1.Tradisi
Rihlah Ilmiah
Rihlah ilmiah secara harfiah,
berarti perjalanan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam artian yang biasanya
dipahami, rihlah ilmiah adalah melakukan perjalanan, dari suatu daerah ke
daerah lain, atau dari satu negar ke nagara lain, baik dekat maupun jauh, dan
terkadang bermukim dalam waktu yang cukup lama bahwa tidak kembali ke daerah
asal, dengan tujuan utama untuk mencari, menimba, memperdalam, dan mengembangan
ilmu pengetahuan, bahkan mengajarkannya dan menuliskannya dalam berbagai kitab.
Sejarah mencatat, tentang
adanya ulama’ terkemuka asal Indonesia yang melakukan rihlah ilmiah dari
Indonesia ke mekkah, mesir dan berbagai Negara didunia dalam waktu yang cukup
lama yang digunakan bukan hanya untuk menimba ilmu, melainkan juga mengajarkan,
dan mengembangkannya dalam bentuk buku. Mereka itu antara lain, Nawawi al-Bantani
(1813-1897), yang rihlah ilmiah ke mekkah dalam usia 15 tahun, beliau wafat
disana, serta kebeberapa Negara lainnya Syuria dan Mesir,[12]
2.
Tradisi menulis buku
Menulis buku merupakan
salah satu tradisi yang dilakukan oleh para kiai pesantren. Beberapa ulama’
pimpinan pondok pesantren yang namanya tersebut diatas, adalah termasuk para
penulis yang produktif. Nawawi al-Bantani misalnya menulis lebih dari seratus
judl kitab yang terbagi kedalam Sembilan bidang ilmu agama yaitu tafsir, fiqih,
usul al-din, ilmu tauhid (teologi), tasawuf (mistisisme), kehidupan nabi, tata
bahasa arab, hadits dan akhlak (ajaran moral islam).
3.Tradisi
meneliti
Dilihat dari segi sumbernya
terdapat penelitian bayani, burhani., ijbari, jadali, dan irfani.
a. Penelitian bayani adalah penelitian yang
berkaitan dengan kandungan al-Quran as-Sunnah dengan bekal pengusaan bahasa
arab dan berbagai cabangnya yang kuat, ilmu tafsir dan berbagai cabangnya, ilmu
hadits, dan berbagai cabangnya, ilmu ushul al-fiqh, ilmu qowaid al-fiqiyyah dan
ilmu-ilmu bantu lainnya.
a.
Penelitian
burhani adalah penelitian yang berkaitan dengan fenomena sosial dnegan bekal
metodelogi penelitian sosial, bahasa dan ilmu bantu lainnya.
b.
Ilmu ijbari berkaitan dengan fenomena alam fisik, jagad raya, dengan mengguanakan
experiment atau percobaab di laboratorium.
c.
Penelitian
jadali berkaitan dengan upaya memahami berbagai makna dan hakikat, segala
sesuatu dengan jalan menggunakan akal secara spekulatif, sistematik, radikal,
universal, dan mendalam.
d.
Penelitian
irfani adalah penelitian yang berkaitan dengan upaya mendapatkn ilmu secara
langsung dengan menggunakan kekuatan intuisi, yang dibersihkan dengan cara
mengendalikan hawa nafsu, menjalankan ibadah
ritual, dzikir, kontemplasi, wirid, dan sebagainya.
4.
Tradisi menbaca kitab kuning[13]
5.
Tradisi berbahasa arab
Seiring dengan adanya tradisi,
penulisan kitab-kitab oleh para kiai sebagaimana tersebut diatas dengan
menggunakan bahasa arab, maka dengan sendirinya telah menumbuhkan tradisi
berbahasa arab yang kuat dikalangan pesantren. Hal ini terjadi, karena para
ulama’ yang bermukim di mekkah meliki kemampuan tradisi berbahasa arab yang
kuat sebagai akibat dari kehidupan mereka sehari-hari dalam masyarakat timur
tengah, serta kitab-kitab yang mereka pelajari menggunakan bahasa arab.
Penggunaan bahasa arab ini
juga terjadi pada para kiaiyang berada di Indonesia, mereka mengetahui bahwa
al-Quran dan as-Sunnah ditulis dalam bahasa arab. Demikian pula bahasa yang
digunakan ketika shalat berdo’a juga bahasa arab.
6.
Tradisi mengamalkan toriqod
Dari berbagai sumber yang ada
masyarakat salafiyyah yang dibangun oleh dunia pesantren mewujudkan kesatuan
tak terpisahkan antara taqwa dan akhlak atau anatara religiousitas dan etika.
Dalam kaitan ini tasawuf tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan agam. Bahkan,
jika tasawuf itu adalah disiplin yang lebih berurusan dengan masalah-masalah
inti atau batin, maka ia juga berarti merupakan inti keagamaan yang bersifat
esoteric.[14]
7.
Tradisi menghafal
Menghafal adalah salah satu
metode atau cara untuk menguasai mata pelajaran, caranya dimulai dengan belajar
mata teks kitab, memberi arti kepada setiap teks, memahaminya dengan benar,
bahkan menghafalkannya diluar kepala
8.
Tradisi berpolitik
9.
Tradisi lainnya
E.
Perkembangan
Pendidikan Islam di dalam Pesantren
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam
mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perkembangan zaman, terutama sekali
adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi. Perubahan bentuk
pesantren bukan berarti sebagi pondok pesantren yang telah hilang kekhasannya.
Dalam hal ini pondok pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan islam yang
tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk masyarakat.
Beberapa
tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, meliputi:
1.
Pondok pesantren tradisonal
Pondok
pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya, dengan semat-mata
mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama’ abad ke 15 dengan menggunakan bahasa
arab. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kiai pengasuh pondoknya.
Santrinya ada menetap di dalam pondok dan ada yang tidak menetap di pondok.[15]
2.
Pondok pesantren modern
Pondok
pesantren ini merupakan mengembangan tipe pesantren, karena orientasi belajarnya
cenderung mengambil seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan
sistem belajar tradisional.
3.
Pondok pesantren komprehensif
Di
sebut komprehensif karena merupakan sistem pendidikan dan pengajaran
poenggabungan antara yang tradisional dan modern. Artinya di dalamnya
diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan,
bandongan, dan wetonan.[16]
Pondok pesantren bukan
hanya terbatas dengan kegiatan-kegiatan keagamaan melainkan mengembangan diri
menjadi suatu lembaga pengembangan masyarakat. Oleh karena itu pondok pesantren
sejak semula merupakan ajang mempersiapkan kader masa depan dengan
perangkat-perangkat sebagai berikut:
a.
Masjid
Pada
hakikatnya merupakan sentral kegiatan muslimin, baik dari dimensi ukhrowi,
maupun duniawi dalam ajaran islam, karean pengertian yang lebih luas dan
maknawi masjid adanya memberikan indikasi sebagai kemampuan seorang abdi dalam
mengabdi kepada Allah yang disimbolkan dengan adanya masjid sebagai temapat
sujud. Atas dasar pemikiran itu dapat dipahami bahwa masjid tidak hanya
terbatas pada pandangan materialistic, melainkan pandangan idealistic
immaterialsitik termuat di dalamnya. Pemikiran materialistic mengarah kepada
keberdaan masjid sebagai suatu bangunan yang dapat di tangkap oleh mata.
Dalam
hal ini secar sederhana, masjid adalah tempat sujud. Sujud adalah symbol
kepatuhan seorang hamba kepada khaliqnya, oleh karena itu seluruh kegiatan yang
mengambil di masjid tentu memiliki nilai ibadah yang tinggi. Artinya proses
kegiatan itu hanya mengharapkan keridhoan Allah yang bersifat ilahiyyah,
berkaitan dengan pahala dan balasan dari Allah.
b.
Pondok
Pondok
dalam pesantren pada dasarnya merupakan dua kata yang sering menyebutnya tidak
dipisahkan menjadi pondok pesantren, yang berarti keberadaan pondok dalam
pesantren merupakan wadah pembinaan dan pendidikan serta pengajaran ilmu
pengetahuan.
c.
Kiai
Ciri
yang paling esensial, bagi suatu pesantren adalah adanya seorang kiai. Kiai
pada hakikatnya adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai ilmu
di bidang agama. Dalam hal ini agama islam, keberdaan kiai di dalam pesantren
sangat sentral sekali, jadi kiai di dalam dunia pesantren sebagai penggerak
dalam mengemban dan mengembangan pesantren sesuai dengan pola yang dikehendaki.
d.
Santri
Istilah
santri hanya ada dalam pesantren sebagai pengejawan tahan, adanya peserta didik
yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oelh seoarng kiai yang memimpin
sebuah pesantren, oleh karena itu santri pada dasarnya memilki keterkaitan erat
dengan keberadaan kiai dan pesantren.[17]
F. Sistem
Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren
Sistem ini erat kaitanya dengan tepologi pondok
pesantren sebagaimana yang ditunagkan dalam ciri-ciri pondok pesantren
sebagaimana yang diuatarakan terlebih dahulu, maka ada beberapa sistem
pendidikan dan pengajaran pondok pesantren.
1. Sistem
pendidikan dan pengajaran yang bersifat tardisional
Sistme
tradisional adalah berangkat dari pola pengajaran yang sangat sederhana dan
sejak semula timbulnya, yakni pola pengajaran sorogan, bandongan dan wetonan
dalam mengkaji kitab-kitab agama, yang ditulis oleh para ulama’.
a. Sorogan
Pola
sorogan dilakukan dengan jalan santri yang biasnya pandai, menyorongkan sebuah
kitab kepada kiai untuk dibaca dihapapan kiai itu.
b. Wetonan
Sistem
dengan jalan wetonan dilaksanakan dengan jalan kiai membaca suatu kitab dalam
waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan
menyimak bacaan kiai. Dalam sistem pengajaran yang seperti ini tiadak ada
absensi. Jadi, santri boleh datang boleh juga tidak.
c. Bandongan
Sistem
bandongan, seorang santri tidak harus menunjukkan bahwa ia mengerti pelajaran
yang sedang ia hadapi. Para kiai biasanya membaca dan menerjemahkan kata-kata
yang mudah.
2. Sistem
pendidikan dan pengajaran yang bersifat modern
Di
dalam perkembangannya pondok pesantren tidaklah semaya-mata tumbuh atas pola
lama yang bersifat tradisional dengan ketiga pola pengajaran di atas, melainkan
dilakukan suatu inovasi dalam pengambangan suatu sistem.
Ada dua sistem yang diterapkan:
a. Sistem
klasikal
b. Sistem
kursus-kursus
c. Sistem
pelatihan
IV.
KESIMPULAN
Secara
harfiah, karakter berasal dari bahasa inggris character yang berarti watak, karakter, atau sifat. Dalam bahasa
Indonesia, watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi
segenap pikiran dan perbuatanya, dan berarti pula tabi’at, dan budi pekerti.
Selanjutnya, jika ada ungkapan pendidikan karakter, maka yang dimaksud adalah
upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga
dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian.
Sedangkan
yang dimaksud dengan sifat adalah rupa dan keadaan yang tampak pada sesuatu
benda. Selanjutnya kata pendidikan secara umum adalah upaya memengaruhi orang
lain agar berubah pola pikir, ucapan, perbuatan, sifat dan wataknya sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, antara kata pendidikan dengan
kata karakter menjadi amat dekat substansi.
pendidikan
karakter jika dipahami secara demikian tidak akan kokoh dan tidak akan stabil,
sebab mereka hanya menghargai sebagian dari kekayaan individu. Mereka tidak
sungguh-sungguh ingin menghargai individu itu apa adanya, maka pendidikan
karakter sesungguhnya bukan sekadar hubungan horizontal antara individu dan
individu lain, tapi antara individu yang memiliki hubungan vertical dengan
Allah yang dipercaya dan diimani. Integrasi antara pendidikan agama dan
pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan kita merupakan sebuah keharusan
jika kita ingin tetap setia pada pancasila.
Tujuan pendidikan
karakter antara lain:
a. Sebagai
pendidikan nilai
b. Sebagai
pendidikan moral
c. Sebagai
pendidikan agama
Karakteristik pendidikan karakter
dilihat dari dimensi kegiatan sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh
pesantren itu bermuara pada suatu sasaran utama yakni perubahan. Baik secara
individual maupun kolektif. Oleh karena itu pondok pesantren dapat juga
dikatakan sebagai agen perubahan artinya pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan agama yang mampu melakukan perubahan terhadap masyarakat.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya susun,
penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan
saran dari pembaca kami butuhkan demi kebaikan makalah ini dan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier
Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren
Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES.
Mastuhu,
1994, Dinamika Sistem pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS.
Marwan
Saridjo Marwan dkk, 1980, Sejarah Pondok
Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti.
Choles Nur Madjid, 1997, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina.
Yasmadi, 2005, Modernisasi Pesantren, Ciputat:
Ciputat Press.
Mas’ud
Abdurrahman, 2004, Intelektual Pesantren
Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS.
Zakaria
Rusydy, 1982, Indonesia Islamic Education, A Social
Historical and Political Perspective, Jakarta: LP3ES.
Hidayat
Komaruddin, 2009, Kiai dan Dunia
Pesantren, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nata
Abuddin,2010, Pendidikan Islam dengan
Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Majid
Abdul, 2011, Pendidikan Karakter
Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Koesoema
A Doni, 2007, Pendidikan Karakter
Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo.
Sudjatmoko,
1988, Etika Pembebasan Cetakan Ketiga,
Jakarta: LP3ES.
Husain
Ibrahim al-Habsyi,dkk, 2003, Pengantar
Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Pustaka al-Zahra.
M. Echols John dan
Hasan Shadily, 1979, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia.
[2]
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1991), hal. 1149
[3] Abbudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), hlm. 4-7
[4] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak
di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2007) hlm. 4
[5] Ibrahim Husain al-Habsyi,dkk, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Zahra, 2003) hlm. 263
[6] Abdul Majid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011) hlm. 61-64
[7] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak
di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2007) hlm. 71-80
[8]
Sudjatmoko, Etika Pembebasan
Cetakan Ketiga, (Jakarta: LP3ES, 1988) hlm. 268
[9] Abuddin Nata, Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2010) hlm. 170
[10]
Rusydy Zakaria, Indonesia Islamic
Education, A Social Historical and Political Perspective, (Jakarta: LP3ES,
1982), hlm. 313-314
[11]
Komaruddin Hidayat, Kiai dan Dunia
Pesantren, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 3
[12] Abdurrahman
Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan
Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2004) hlm. 221
[13]
Yasmadi, Modernisasi Pesantren,
(Ciputat: Ciputat Press,2005), hlm. 90
[14]
Nurcholesh Madjid, Masyarakat
Religius, (Jakarta: Paramadina:1997), hlm. 140
[15]
Mastuhu, Dinamika Sistem
pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 14
[16]
Marwan Saridjo dkk, Sejarah Pondok
Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), hlm 15
[17] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang
Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 44-45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar